Harga kedelai impor di tanah air diperkirakan naik dari Rp9.000 menjadi Rp11.000 per kilo. Wacana ini akan disambut dengan aksi mogok pada 21-23 Februari mendatang.
Jarwo Susanto, pengrajin tempe asal gang Dolly Surabaya menilai aksi mogok ini tidak berdampak apapun terhadap wacana kenaikan harga bahan pokok tahu dan tempe ini.
“Tapi aslinya gak ada solusinya mogok itu. Pertama kali pernah mogok tahun lalu tapi harganya tetep aja gak stabil. Tambah naik aja. Timbang mogok merugikan usahanya sendiri, merugikan konsumen yang membutuhkan, harusnya demo aja,” kata Bang Jarwo, sapaan akrabnya, saat dihubungi Suara Surabaya, Sabtu (19/2/2022).
Dia mengatakan, harusnya para pengrajin tempe menggelar aksi demo di kantor pemerintahan sambil membawa tempe.
“Ini mau (mogok) kedua kalinya. Harusnya demo di pemerintah kota, di Grahadi sama bawa tempe. (Demo) cukup satu hari sama bawa tempe ditaruh di depannya Grahadi. Kalau mogok gak ada solusinya,” ujarnya.
Jarwo menambahkan, selisih kenaikan harga kedelai sebesar Rp2.000 berdampak pada penghasilan yang akan berkurang.
“Satu kilo selisihnya Rp2 ribu, kalau habis 100 kilo Rp2 ribu dikali 100 kilo. Harga bahan pokok naik, penghasilannya kurang. Takutnya kalo produksi, terus pesanan sepi, enggak laku,” keluhnya.
Saat ditanya lebih jauh mengapa tidak memakai kedelai lokal, pria asli Putat Jaya ini menjelaskan kalau kualitasnya berbeda saat produksi memakai kedelai impor dari segi warna.
“Pernah dulu saya dikasih tetangga saya oleh-oleh kedelai 2 kilo. Saya praktikkan, antara impor dan lokal jauh beda. Warnanya beda, enggak menarik untuk dijual, kurang putih, agak kecoklatan. Tapi hasil dan rasa juga sama,” terangnya.
Selain itu, kedelai yang beredar di pasaran adalah yang impor, bukan kedelai lokal.
Namun ternyata bukan di situ saja problemnya, sebenarnya dia sudah menyuarakan untuk memakai kedelai lokal sejak 2017 silam kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Timur.
“Dari dulu ketemu Disperindag Jawa Timur itu aku minta solusi enggak ada sama sekali sampai sekarang. Aku dari 2017 pas diundang jadi narasumber, saya minta solusi pakai kedelai lokal, karena selama ini impor semua. Kalau kedelai organik itu mahal sampai 3 kali lipat. Itu tahun 2017, enggak tahu sekarang,” ujarnya.
Jarwo juga meminta agar pemerintah, dalam hal ini Disperindag, agar konsisten memberikan subsidi kepada pengrajin tempe.
“Yang tahun kemarin disubsidi sama Disperindag dari harga Rp12 ribu jadi Rp10.000. Sekarang sudah enggak ada lagi. Sudah beberapa bulan distop. Harusnya konsisten,” katanya.(dfn/den)