Jumat, 22 November 2024

Anak-Anak Disabilitas Berkarya Belajar Food Photoraphy di Rumah Padat Karya

Laporan oleh Retha Yuniar
Bagikan

Anak-anak Disabilitas Berkarya dari Liponsos Kalijudan Surabaya berkesempatan belajar food photography dan potong rambut gratis di Rumah Padat Karya Viaduct By Gubeng.

“Ini anak-anak kebetulan dapat fasilitas dari Mas Freddy dan kawan-kawan Rumah Padat Karya untuk memotret produk” ujar Leogemati salah satu inisiator kegiatan voluntarisme Disabilitas Berkarya pada suarasurabaya.net, Jumat (17/6/2022)

Sembari makanan disiapkan, lima anak yang terdiri dari Umay, Pina, Jacky, Kiking, dan Mukidi ini mendapat layanan potong rambut gratis. Mereka bebas memilih gaya rambut yang disukai.

Rumah Padat Karya sendiri merupakan salah satu bentuk bisnis yang di inisiasi Camat Gubeng untuk memberdayakan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan UMKM wilayah Gubeng.

Selama mengantre anak-anak ini cukup tertib dan saling berinteraksi dengan cara yang sangat unik. Mereka berkomunikasi tidak dengan bahasa tutur melainkan kode-kode isyarat yang mereka ciptakan sendiri.

Setelah siap, kelima anak ini langsung mengambil posisi dan memainkan kameranya. Dengan ciri khas masing-masing, mereka memotret beberapa makanan yang tersaji.

Mulai dari nasi goreng kampung, nasi goreng seafood, pasta aglio olio, hingga mac and cheese. 

Semakin senang ketika melihat mereka bersemangat melahap sajian yang mereka potret.

Anak-anak yang disebut istimewa oleh Leogemati ini beberapa diantaranya mengalami down syndrom, tuna wicara, tuna rungu dan sebagian mengalami retardasi mental.

Leogemati mengaku telah mendampingi anak-anak untuk belajar photography sejak akhir tahun 2016 lalu bergabunglah Eko Doto Nugroho, Mamuk Ismuntoro, Anggi dan Freddy ikut membina.

Leo menilai animo belajar anak-anak cukup tinggi meski mengaku sempat menemui kesulitan di awal prosesnya.

“Cara mengajarnya dengan bahasa visual yaa.  Karena kita sama-sama tidak mengerti bahasa isyarat,” ungkapnya.

Leogemati seringkali menunjukkan karya pribadinya, karya teman-teman photographer dari dalam hingga luar negeri.

“Itu jadi acuan buat mereka berkarya,” ujarnya.

Apa yang dilakukan Leogemati, Eko Doto dan kawan-kawan tidak sia-sia. Anak-anak hebat ini beberapa kali menyabet penghargaan di bidang photography.

“Kiking pernah ikut workhshop UNICEF tahun 2018 dia pernah mendapat predikat best photographer. Mukidi best team photographer. Kalau dari Pemkot kemarin waktu ulang tahun Surabaya dua anak ini juga mendapat penghargaan,” katanya.

Karya photography mereka bahkan pernah dibukukan dan diberi judul ‘Tutur Mata’. Karya itu terbit pada 2021 tepat di hari disabilitas internasional.

Diberi judul Tutur Mata, karena melalui hasil potret inilah mereka berkomunikasi dan menuturkan siapa diri mereka. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang berkomunikasi dengan mulut dan bahasa. Mereka berbahasa dengan mata.

Tak habis cerita, Leo membagi satu kisah yang sampai saat ini masih membuatnya tergetar.

Kala itu, anak didiknya Pina memotret Umay dan Kiking anak didiknya yang lain, menggunakan teknik levitasi.

“Boncengan pakai sapu jadi kaya Harry Potter terbang. Saya cetak, saya kasihkan,” katanya.

“Trus Umay bilang. Pak buat saya ya, nanti kalo saya ketemu orang tua saya, saya kasihkan,” imbuh Leo sambil mengingat keharuannya saat itu.

Leo terharu karena sampai saat ini Umay belum pernah bertemu orang tuanya.

Sampai saat ini, kata Leo, Liponsos Kalijudan merawat sebanyak 55 anak difable. Sebanyak 14 anak diantaranya laki-laki dan sisanya perempuan.

“70 persen dari 55 anak ini gak tau orang tuanya dimana. Termasuk kelima anak ini,” kata Leo sambil memelankan suara menjaga perasaan kelima anak didiknya meski mayoritas mengalami tuna rungu.

Sampai sekarang, sebagian besar dari anak-anak ini tidak memiliki data yang jelas tentang siapa nama asli mereka, darimana mereka sebenarnya berasal dan berapa usia mereka.

“Ya mungkin 14 sampai 25 tahun ya. Karena data minim banget. Saat datang mereka ditanya juga nggak ngerti,” ujarnya.

“Bahkan Mukidi itu pertama kali masuk ditanya siapa namanya dia nggak tau. Akhirnya kita panggil dia Mukidi,” imbuhnya.

Sebagian besar tidak mengerti jati dirinya. Inilah mengapa sebagian besar mereka dinamai ulang setibanya di Liponsos Kalijudan. Besar kemungkinan, nama keseharian mereka bukanlah nama mereka yang sesungguhnya. (tha)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs