Sabtu, 23 November 2024

Akademisi: Anak Punya Lebih Banyak Waktu untuk Mengeksplorasi Diri Apabila PR Dihapus

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi murid Sekolah Dasar. Foto: Dokumen suarasurabaya.net

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana menghapus pekerjaan rumah (PR) untuk pelajar Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai 10 November 2022.

Alasan Pemkot menghapus PR adalah untuk mengurangi beban pelajar, sehingga waktu yang tersisa di rumah bisa dipakai untuk hal-hal bermanfaat dan bersosialisasi dengan temannya.

Dr. Martadi, M.Sn. Direktur Vokasi di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan, wacana ini sebenarnya bukan hal yang baru karena sejak Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, PR yang terkait dengan mata pelajaran sudah tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada pelajar.

“PR tidak perlu karena di Kurikulum Merdeka menganut mastery learning, materinya sudah sederhana sehingga harus tuntas di sekolah. (Memberikan PR) itu hanya akan mengulang yang justru membebani anak dengan aktivitas yang seharusnya tidak perlu,” kata Martadi saat mengudara dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Kamis (20/10/2022).

Waktu yang seharusnya digunakan untuk mengerjakan PR, Martadi melanjutkan, bisa digunakan anak untuk mengeksplorasi potensi dirinya, membangun kedekatan dengan keluarga, melakukan aktivitas dan riset sederhana, serta berinteraksi dengan teman sebayanya.

“Itu jauh lebih mengasah cara berpikir, kepekaan terhadap lingkungan dan soft skill anak,” imbuh Dosen Jurusan Seni Rupa Unesa ini.

Untuk dapat mewujudkan ini, menurut Martadi dibutuhkan lingkungan atau ekosistem sosial yang dapat mendorong anak sesuai tahapan tumbuh kembangnya. Semisal pada anak jenjang SD, yang perlu dikuatkan adalah aspek kecakapan hidup yang mencakup kemampuan problem solving, komunikasi, team work, dan memecahkan masalah secara kolektif.

“Lingkungan keluarga atau masyarakat anak harus menyediakan hal yang mampu mengasah keterampilan soft skill dan karakter, karena ini tidak mungkin diajarkan di sekolah. Di sinilah pentingnya komitmen bersama orang tua dan lingkungan agar menyiapkan ekosistem yang edukatif agar anak-anak bisa terfasilitasi berbagai kecakapan hidup,” tegasnya.

Kemudian untuk pihak sekolah maupun pengajar, ia merekomendasikan untuk memberikan pembelajaran dengan menggunakan Problem Based Learning dan Project Based Learning.

“Anak diajak belajar secara kontekstual sehingga tidak lagi mendengarkan scr pasif apa yang disampaikan guru. Anak saat ini adalah subyek belajar  sedangkan guru adalah fasilitator,” pungkasnya.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs