Brahma Astagiri ahli hukum siber Universitas Airlangga (Unair) menyebut somasi yang dilakukan sebuah merek minuman kepada konsumennya adalah bentuk komunikasi formal.
“Dari perspektif hukum, normal saja kalau menggunakan somasi. Somasi ini kan teguran, belum masuk langkah hukum. Isinya hanya komunikasi,” kata Brahma dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (27/9/2022).
Brahma menjelaskan, memang menyampaikan kritik adalah hak namun tetap ada koridor hukum yang membatasi. Hukum hadir untuk membatasi agar tidak melukai orang lain.
“Kritik itu menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita. Kritik sering dihubungkan dengan sesuatu, bukan orang,” kata Brahma.
Batasan kritik, kata dia, adalah sesuai fakta dan tidak boleh bertentangan dengan asusila. Misalnya kalau masakan, kritik secara teori masakan, fotografi secara teori fotografi.
“Berpegang saja pada etika. Kita pinjam kultur kesopanan Jawa atau Madura agar tidak menyinggung perasaan,” terangnya.
Terkait pemilihan bahasa yang ditulis konsumen minuman tersebut di Twitter, menurutnya memang bentuk ekspresi, tapi sedikit berlebihan dan dapat mengandung tuntutan hukum. Misal faktanya benar tidak, ada tiga kilogram gula dalam satu gelas.
“Kasus ini adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia masih butuh edukasi, literasi digital. Kalau bahasanya dibilang wajar, mungkin iya di lingkungan kecilnya, tapi Twitter itu kan area publik. Buktinya setelah diunggah, di-retweet puluhan ribu kali. Efeknya, persepsi orang bisa bermacam-macam,” kata dia.
Menurut Brahma, sebenarnya unggahan konsumen tersebut berpotensi diadukan ke ranah hukum karena memenuhi pasal penghinaan.
Dalam Pasal 27 UU ITE Ayat 3 disebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.” Penghinaan yang dimaksud dalam pasal di atas, diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. (iss/rst)