Dewan Pengurus Daerah Autism Awarenes Indonesia (AAI) Jawa Timur menggelar kegiatan melukis bersama 21 anak berkebutuhan khusus di Galeri Merah Putih, Alun-Alun Kota Surabaya pada Sabtu (29/10/2022).
Vivin Komaliya Ketua AAI-DPD Jatim mengatakan, kegiatan tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.
“Jadi dari tanggal 20 – 31 sudah kita adakan pameran lukisan karya anak-anak istimewa. Kegiatan melukis bersama hari ini Ini juga dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Nah jadi kalau selama ini, anak berkebutuhan khusus atau anak istimewa ini, mereka itu diajari menggambar saja bukan melukis, jadi sudah ada plot-nya dan mereka tinggal mewarnai. Yang kita lakukan ini bukan seperti itu, tapi mulai dari proses melukis sampai selesai,” ujarnya saat ditemui suarasurabaya.net, Sabtu (29/10/2022).
Dia menjelaskan lebih lanjut, 21 pelukis anak tersebut berasal dari beberapa sekolah luar biasa (SLB) di Jawa Timur.
“Diantaranya SLB Bangun Bangsa, SLB Fajar Harapan, SLB Aditama, SLB Arya Satya Hati, SLB Negeri Kota Pasuruan dan lain-lain,” kata Vivin.
Dalam kegiatan ini, lanjut vivin, anak berkebutuhan khusus diberikan waktu 45 – 60 menit untuk melukis diatas kanvas dengan menggunakan cat akrilik.
“Kita tidak memberikan tema, terserah mereka mau melukis apa sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Karena kalau kita bikin tema nanti mereka juga bingung mau melukis apa. Dan yang dinilai itu bukan lukisannya tapi prosesnya,” tuturnya.
Vivin berharap, dengan adanya kegiatan melukis bersama 21 anak berkebutuhan khusus ini bisa mendapatkan support dari berbagai pihak.
“Harapan saya dengan adanya kegiatan ini banyak support dari pihak media, pihak pemerintahan dan masyarakat. Pada umumnya mereka menilai bahwa anak-anak istimewa ini memang bebas, bebas di dunianya mereka. Jangan dibandingkan mereka dengan kita, kadang-kadang kehebatan mereka bisa melebihi kita, kita juga tidak tahu,” imbuh Vivin.
Sementara Hendrik, Pembina pelukis anak-anak berkebutuhan khusus mengatakan, 21 anak tersebut terdiri dari anak tuna rungu, down syndrome, autis, dan cerebral palsy. Dia menyebut, terdapat beragam kesulitan saat mengajari anak-anak tersebut melukis.
“Contoh kesulitannya ketika anak tuna rungu disuruh melukis, dia tidak langsung bergerak melukis, diam beberapa saat bahkan sampai hitungan 5 – 15 menit belum melukis. Kalau anak downsyndrome langsung, belum diperintah dia langsung mulai melukis . Kalau anak autis ada yang motorik kasar kesulitannya pegang kuas saja ada yang tidak bisa,” jelasnya.
Hendrik menuturkan bahwa ketika membina anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menumbuhkan rasa senang saat melukis.
“Saya hanya mengarahkan “kamu harus senang melukis”, saya menumbuhkan rasa senang terlebih dahulu di hatinya. Saat anak sudah senang, akhirnya ada nilai-nilai tersendiri sehingga motorik syaraf anak itu bergerak untuk bangkit, itu sulit sekali untuk menumbuhkannya,” kata Hendrik.
Sementara Irma, salah satu orang tua berharap dengan adanya kegiatan tersebut, sang anak dapat bersosialisasi seperti anak normal pada umumnya.
“Anak saya Farel penyandang downsyndrome, harapannya biar anak saya Farel bisa bersosialisasi seperti anak normal lainnya tanpa ada keminderan,” ujar Irma.(gat/iss)