Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI menegaskan, kerukunan antarumat beragama sudah menjadi komitmen bersama Bapak dan Ibu pendiri Bangsa Indonesia.
Mereka bukan cuma membahas, tapi sudah mempraktikkan kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari, termasuk urusan politik dan kenegaraan.
Salah satu buktinya terjadi pada proses penyusunan Pancasila, baik di BPUPKI, Panitia Sembilan mau pun PPKI.
Puncaknya, kelompok religius dan nasionalis bersepakat menentukan sila-sila Pancasila.
Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional “Sosialisasi Kerukunan Antara Umat Beragama dalam Bingkai Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, kerjasama MPR RI, Majelis Ulama Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, di Cipete Jakarta Selatan, Sabtu (6/11/2021).
“Penghilangan tujuh kata dalam piagam Jakarta adalah bukti bahwa kelompok Islam mau mendengar dan berempati terhadap tuntutan kelompok Indonesia bagian timur. Keihklasan menghilangkan tujuh kata, tersebut juga bermakna bahwa kerukunan antara umat beragama sudah tercipta dan dipraktikkan dengan baik. Kalau bukan karena ingin mempertahankan kerukunan, masing-masing kelompok pasti lebih mengutamakan egoisme serta kepentingannya sendiri-sendiri,” ujarnya.
Selain HNW, ada narasumber lain yang menyampaikan makalahnya pada acara tersebut. Yaitu, Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M. Si (Rektor UMJ), Dr. KH. Yusnar Yusuf (Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar umat Beragama), serta Pdt.Gomar Gultom M.Th (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia).
Dalam penyusunan teks Pancasila, lanjut Hidayat, kerukunan antarumat beragama juga muncul mendasari penyusunan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena di dalam pembukaan, selain ada teks Pancasila, juga terdapat cita-cita yang ingin diwujudkan dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Karena itu, pembukaan UUD NRI 1945 harga mati dan tidak bisa diubah lagi. Sebab, di sana terdapat teks Pancasila dan cita-cita Indonesia merdeka. Mengubah cita-cita kemerdekaan, berarti mengubah NKRI,” ujarnya.
Sependapat dengan Hidayat, Pendeta Gomar Gultom mengatakan kerukunan antarumat beragama terbentuk dengan sendiri. Bukan dipaksakan atau pun direkayasa. Itu terjadi secara alamiah.
“Proses dialektika dan keputusan menetapkan Pancasila adalah bukti bahwa kerukunan antarumat beragama sudah ada sejak dahulu, dan itu tumbuh di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.
Di masa kini, kerukunan antarumat beragama makin mudah ditemukan. Misalnya, saat umat Nasrani merayakan hari raya, banyak ibu-ibu membantu kesibukan di geraja.
Banyak di antara mereka yang memakai hijab, dan itu pasti bukan umat Nasrani.
Sementara itu Ma’mun Murod Al-Barbasy mengingatkan praktik politik di Indonesia, berpotensi merusak kerukunan antar umat beragama. Seperti pada waktu Pilkada Jakarta yang dilanjutkan Pilpres.
“Prabowo dan Joko Widodo, mampu merepresentasikan dirinya sebagai wakil dari dua kelompok umat beragama yang saling berhadapan. Ini terjadi karena presidential threshold yang mencapai 20 persen sehingga kandidat yang muncul hanya ada dua pasang, dan itu menyebabkan belah bambu. Karena itu, patut dikaji kembali agar presidential threshold diturunkan, supaya kandidat yang muncul lebih dari dua pasang, untuk menghindari terjadinya politik belah bambu,” tegasnya.(rid/den)