Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI menyesalkan keluarnya peraturan Menteri Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Menurutnya, peraturan itu sarat dengan ketentuan yang tidak sesuai Pancasila, UUD NRI 1945, serta peraturan perundangan di atasnya. Serta sudah banyak penolakan dari masyarakat secara luas dan dinyatakan oleh 13 organisasi yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI).
“Fraksi PKS DPR RI juga tegas menolak karena peraturan itu jauh dari nilai-nilai Pancasila yang memuliakan norma agama, serta tidak punya landasan hukum yang spesifik. Apalagi, peraturan menyangkut kekerasan seksual yang dirujuk peraturan menteri itu sudah dibatalkan DPR. Aturan yang sekarang masih dibahas di DPR RI sudah tidak relevan dengan prinsip yang dirujuk peraturan menteri itu,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Sabtu (6/11/2021).
Hidayat mengingatkan, pembuatan Peraturan Menteri yang mengabaikan norma agama, UUD NRI 1945, dan tidak sesuai landasan hukum di atasnya bukan yang pertama kali dilakukan oleh Nadiem Makarim Mendikbudristek. Menurutnya, hal itu sudah beberapa kali dilakukan oleh pendiri salah satu aplikasi transportasi online dalam negeri itu.
“Saya dukung 13 Ormas Islam dan Fraksi PKS yang secara terbuka, argumentatif, dan konstitusional menolak Permendikbud 30/2021. Kekeliruan itu menambah daftar panjang aturan kontroversial yang dikeluarkan Mendikbudristek. Peraturan itu harus segera ditarik dan direvisi. Saya juga mendesak Presiden Jokowi menegur Mas Menteri Nadiem agar kejadian serupa tidak terus berulang,” kata pria yang karib disapa HNW itu.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu melanjutkan, secara eksplisit dan substantif peraturan menteri soal kekerasan seksual di Perguruan Tinggi jelas tidak menjadikan Pancasila, Undang-Undang Dasar NRI 1945, dan UU Sistem Pendidikan Nasional sebagai spirit dasar pembentukannya karena tidak memasukkan norma agama dan tujuan dari pendidikan nasional yang diatur UUD NRI 1945.
Terutama, agar peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa. “Sangat jelas ketentuan-ketentuan dalam Permendikbud itu masih menggunakan paradigma kekerasan dan persetujuan dalam hal aktivitas seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Sehingga, ketentuannya masih menghadirkan sanksi bila ada kekerasan dan bila tidak terjadi persetujuan,” ujarnya.
HNW bilang, dalam hal hubungan seksual tidak terjadi kekerasan dan terjadi persetujuan, maka itu bukan pelanggaran, sekali pun itu tidak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945, serta bertentangan dengan norma agama, hukum, dan norma ketimuran. Padahal, kata dia, ketentuan-ketentuan prinsip itu sudah mengalami koreksi dan perbaikan mendasar dan konsisten merujuk ke Pancasila, UUD-NRI 1945, serta norma agama. Itu yang sekarang sedang dibahas di Baleg DPR RI.
“Kami dukung memberantas kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan kampus dan lembaga pendidikan lainnya. Tapi, harus sesuai Pancasila, UUD-NRI 1945, dan norma agama serta norma kebudayaan yang berlaku. Bukannya justru mengabaikannya dan jadi terkesan permisif. Juga melegalkan praktik hubungan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tidak sesuai norma agama, hukum, serta adat istiadat di Indonesia, dengan berlindung di balik budaya barat, yaitu dalih persetujuan (suka sama suka) dan tanpa kekerasan,” ujarnya.
Peraturan Mendikbudristek 30/2021, sambung Hidayat, terkesan melegalkan praktik seks bebas, zina dan LGBT di kampus dengan dalih tidak adanya kekerasan dan hadirnya persetujuan dua pihak. Seharusnya, kata dia, hal seperti itu diwaspadai Kemendibudristek, karena semakin tingginya praktik seks bebas/di luar pernikahan di antara remaja usia awal kuliah (18-20 tahun).
Merujuk penelitian Reckitt Benckiser Indonesia (19/7/2019), sekitar 33 persen remaja usia 18-20 tahun di 5 kota besar di Indonesia sudah melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Hal itu juga yang menjadi kekhawatiran 13 Ormas Islam yang terhimpun dalam Majelis Ormas Islam.
Dalam catatan HNW, Nadiem Makarim sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang ditolak publik karena kontroversial dan tidak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945 dan norma-norma agama. Misalnya; Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang akhirnya ditarik untuk direvisi karena tidak memasukkan frasa agama.
Lalu, SKB 3 Menteri soal seragam siswa yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Kamus Sejarah Indonesia yang banyak informasinya tidak akurat bahkan tidak memasukkan tokoh-tokoh Umat Islam yang berjasa bagi sejarah pembentukan Negara Indonesia, dan justru banyak memasukkan tokoh-tokoh PKI, dan akhirnya ditarik juga.
Kemudian, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 soal Sistem Pendidikan Nasional yang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari daftar mata kuliah wajib. HNW mengingatkan Menteri Nadiem untuk lebih memahami dan konsistens dengan Pancasila, UUD NRI 1945, dan norma-norma keagamaan yang hidup di tengah masyarakat.
Menurutnya, peraturan terkait pendidikan tidak bisa dipisahkan dari Pancasila serta konstitusi Indonesia. Sehingga, peraturannya solutif, tidak kontroversial, dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
“Sewajarnya Presiden Jokowi menegur Mendikbudristek secara tegas dan terbuka supaya tidak dipahami bahwa berbagai kesalahan itu adalah visi misi Presiden. Kemendikbud harusnya bisa jadi teladan dalam berpendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbudristek ke depan tidak lagi bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945 dan norma agama. Sehingga solutif, konstitusional, dan tidak lagi membuat gaduh, dan kembali ditolak oleh publik,” katanya.(rid/den)