Halal atau haramnya Vaksin Astrazeneca masih jadi perdebatan di tengah masyarakat. Isu miring terkait vaksin itu terus naik ke permukaan dan terkadang meresahkan.
Karena itu Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengadakan diskusi publik bertajuk “Halal Haram Vaksin Astrazeneca untuk Kemaslahatan Umat; Ditinjau dari Perspektif Agama dan Kesehatan”.
Diskusi publik yang berlangsung Sabtu (3/4/2021) di Auditorium Rektorat Unesa, Lidah Wetan itu memang mengusung tema yang cukup sensitif. Karenanya Unesa mengundang para pembicara dari berbagai latar belakang yang kompeten di bidangnya.
Ada Dr. KH. Fahrurrozi Burhan Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat. Selain itu, ada Prof. Dr. Djoko Santoso, Guru Besar Fakultas Kedokteran UNAIR sekaligus Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim.
Tidak hanya itu, ada Dr. ror.nat.apt. Aluicia Anita Artaria Peneliti dan Dosen Sekolah Farmasi ITB, serta Dr. dr. Sutrisno, Sp.OG Ketua IDI Jawa Timur dan Ilham Nur Alfian M.Psi Psikolog Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Jatim.
Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes Rektor Unesa dalam sambutannya bilang, Unesa punya tanggung jawab moral untuk mendukung kesehatan masyarakat dan membantu meluruskan polemik halal atau haram Vaksin Astazeneca.
“Polemik seperti ini akan memunculkan ketakutan dan kecemasan di masyarakat. Karena itu, informasi atau isu miring harus diluruskan. Adanya ulama, akademisi kesehatan dan psikologi merupakan sinergi yang tepat untuk mengedukasi dan memberikan informasi yang tepat untuk masyarakat terkait Vaksin Astrazeneca,” ujarnya.
Usai sambutan, acara dipandu moderator Lutfi Saksono, M.Pd selaku Kepala Pusat PKM dan Pemasaran Unesa. Pendapat terkait halal haram vaksin ini dibuka oleh Dr. KH. Fahrurrozi Burhan, Wakil Ketua PWNU Jatim sekaligus Wasekjen MUI Pusat.
Keduanya mengungkapkan bahwa semua produk yang beredar di Indonesia harus meminta fatwa halal MUI. Kemudian MUI memiliki auditor yang menilai halal dan haramnya barang yang diajukan.
Menurutnya, terkait vaksin, semua majelis fatwa di dunia menghukumi vaksin sebagai hal yang suci. “Fatwa dari Mesir, Uni Emirat Arab pun semua mengatakan bahwa vaksin ini suci,” ujarnya.
“Jadi tidak ada persoalan lagi sebenarnya, meskipun ada unsur yang masih diperdebatkan hukumnya, tetapi penggunaan Vaksin Astrazeneca diperbolehkan dan dianjurkan,” tegasnya.
Prof. dr. Djoko Santoso Guru Besar Fakultas Kesehatan Unair menyatakan, ada banyak hal yang harus dipenuhi dalam vaksin. Salah satunya tripsin.
Secara fungsinya, kata dia, tripsin dipakai untuk memotong rantai protein dalam proses kultur jaringan. Selain itu, tripsin dinilai memiliki efektivitas dan stabilitas dalam proses replikasi. Karena jadi salah satu unsur penting dalam vaksin.
“Dari ini kami ingin mencerahkan masyarakat, karena banyak beban yang dipikul masyarakat. Sehingga harusnya masyarakat tidak dibingungkan antara halal atau haram. Karena itu semua sudah jelas, bahwa Vaksin Astrazeneca bukan hal yang perlu pertentangkan dan itu diperbolehkan,” ungkapnya.
Dia memaparkan bahwa Vaksin Astraneca memiliki efek samping bagi sebagian pasien. Biasanya seperti demam, pusing dan nyeri pada sekitar daerah penyuntikan. Menurutnya itu hal biasa dan merupakan respon tubuh yang seolah-olah terkena virus Covid-19.
“Ibaratnya virus ini berada dalam rumahnya, ini tidak tersentuh tripsin karena Astrazeneca sudah punya prototype virus Covid-19. Sehingga, ketika vaksin ini dimasukkan dalam otot manusia, maka menimbulkan respon seolah-olah terkena virus Covid-19, namun yang perlu diingat tubuh juga sudah mengenali prototype ini sehingga tidak akan membahayakan bagi tubuh dan tidak perlu takut,” ujarnya.
K.H. Syafrudin, Khatib Syuriah PWNU Jatim, menyatakan, banyaknya pasien Covid-19 yang meninggal dunia perlu adanya ikhtiar dan tawakal untuk menjaga kehidupan dan menjaga nyawa umat manusia, salah satunya lewat vaksinasi.
“Intinya, berobat adalah keharusan sebagai ikhtiar dalam kondisi darurat, menggunakan Vaksin Astrazeneca pun diperbolehkan,” ucapnya.
Sementara itu Dr. dr. Sutrisno mengatakan bahwa vaksin apapun jenisnya merupakan bentuk ikhtiar untuk menjaga jiwa dan nyawa manusia.
“MUI telah mengeluarkan fatwa untuk memperbolehkan Vaksin Astrazeneca, begitu pula pemerintah yang juga telah mewajibkan vaksin. Jadi tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi,” ungkapnya.
Dari perspektif psikologis, Ilham Nur Alfian menjelaskan bahwa masyarakat sangat percaya dengan label halal, sehingga kampanye dan promosi vaksin harusnya menggunakan hal itu.
“Secara psikologis, adanya resiko dalam komunikasi selama ini, karena itu, hal itu bisa diperbaiki dan dibangun komunikasi yang bijak dan efektif,” jelasnya.(den)