Eko Budi Lelono Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, tsunami akibat gunung api langka terjadi namun jika terjadi dapat berpotensi mengakibatkan bencana yang besar jika tidak dapat diantisipasi. Kejadian yang jarang terjadi berpotensi menimbulkan kelengahan dimana salah satu contohnya adalah perawatan peralatan mitigasi tidak terjaga baik.
“Kita harus tetap waspada dan biasanya kalau jarang terjadi, ini kita lengah dalam pemeliharaan peralatan dan sebagainya sehingga nanti begitu ada kejadian alatnya tidak berfungsi secara maksimal,” ujar Eko dalam Rakornas Penanggulangan Bencana, Kamis (4/3/2021).
Kata Eko, peralatan canggih bukan jaminan keamanan. Peralatan pemantau gunung api di desain untuk memantau aktivitas vulkanik (pergerakan magma) dan tidak dapat digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda sebelum (precursors) kejadian longsoran tubuh gunung maupun tsunami. Longsoran tubuh gunung api dan tsunami sebagai bahaya ikutan aktivitas vulkanik tidak dapat diprediksi kejadiannya
“Kita perlu memahami bahaya ikutan ini yang disebabkan oleh vulkanik ini untuk bisa memprediksi kapan ini dapat terjadi,” jelasnya.
Menurut Eko, sistem peringatan dini tsunami akibat gunung api perlu diupayakan oleh berbagai pihak terutama Badan Geologi, BMKG, BIG dan BPPT yang sama-sama diamanati Perpres 93 tahun 2019.
Mitigasi bencana geologi paling efektif adalah dengan mengupayakan penataan ruang yang berbasis peta kawasan rawan bencana geologi dimana hal ini perlu didukung oleh pemerintah daerah setempat
“Jadi kami di Badan Geologi sudah membuat peta-peta kawasan rawan bencana. Nah kalau ini diikuti untuk pemgembangan wilayah oleh pemerintah daerah diharapkan jika nanti memang terjadi bencana gunung api, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah tentu Insya Allah bisa terhindar,” kata dia.
Eko mengatakan, implementasi dari UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah memperlemah pemerintahan daerah (dinas ESDM) dalam penyiapan data dan keterlibatan dalam mitigasi bencana geologi. Perlu dikaji kembali efektifitas UU nomor 23 tahun 2014 terkait dengan implementasi mitigasi.
“Yang tidak kalah pentingnya adalah ada peran dari pemerintah daerah untuk bersama-sama dengan pemerintah pusat untuk memitigasi, cuma ini memang ada kendala barangkali di UU no 23 tahun 2014 tentang Pemda yang memang tidak mengamanatkan mitigasi dilakukan oleh Pemda. Jadi memang perlu ada pemikiran untuk merevisi UU ini, sehingga Pemda juga aktif untuk berperan dalam memitigasi bencana ini,” tegasnya.
Eko menjelaskan, Kementerian energi dan sumber daya mineral melalui badan geologi adalah salah satu leading sector dalam pengurangan risiko bencana geologi di Indonesia namun hal ini adalah tugas kolektif pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha dan media (Pentahelix).(faz/tin)