Baratadewa Sakti Praktisi Keuangan Keluarga dan Pendamping Bisnis UMKM menuliskan telaah tentang sistem Cash on Delivery (COD) dalam marketplace.
Dia mencermati, baru-baru ini tersiar kabar yang viral tentang kegeraman para netizen atas perilaku seorang ibu yang marah-marah dengan kata-kata kasar ke kurir sang pengantar barang.
Pasalnya, barang yang dipesan dari marketplace kemudian diantar oleh sang kurir, dianggap tidak sesuai dengan barang yang dipesan pembeli.
Netizen menganggap perilaku seorang ibu ini sudah keterlaluan karena sesungguhnya kurir hanyalah pihak yang bertugas mengantar barang dan tidak punya kaitan apapun terhadap transaksi jual beli yang terjadi.
Boleh jadi, permasalahan ini timbul karena sang pembeli yang kurang memahami bagaimana mekanisme jual beli skema cash on delivery (COD) yang diberlakukan oleh marketplace.
Atau bisa juga ketidaksesuaian yang terjadi hingga membuat jengkel sang pembeli, mungkin justru bersumber dari mekanisme COD yang ditentukan oleh marketplace.
Menurut Baratadewa seperti dilansir Antara, sebelum sampai pada solusi yang ditawarkan termasuk memperbanyak literasi tentang transaksi jual beli secara digital, hingga langkah-langkah pembenahan yang mungkin perlu dilakukan pada mekanisme COD pada marketplace, perlu dipahami lebih dulu apa itu definisi sistem pembayaran digital dengan skema COD secara umum.
Juga perlunya pemahaman tentang bagaimana mekanisme yang ditentukan marketplace sehingga dianggap berpotensi merugikan para pihak terkait, baik penjual, pembeli, atau sang kurir pengantarnya.
COD yang diberlakukan oleh marketplace secara umum bermakna bayar di tempat, yang berarti merupakan metode pembayaran secara langsung saat kurir pengantar barang telah sampai di rumah atau alamat tujuan.
Begitu kurir tiba, pembayaran tunai akan diserahkan pembeli kepada kurir sebelum barang diterima dan dibuka (di-unboxing) oleh pembeli atau pihak lain yang dianggap mewakili pembeli.
Metode COD ini masih dipertahankan hingga kini oleh beberapa toko berbasis belanja daring untuk memberikan rasa kepercayaan dari pembeli, bahwa barang yang dipesan bukan barang abal-abal atau jual beli tipu-tipu yang menjadi momok menakutkan bagi para pembeli.
Dengan metode COD ini pula, penjual akan diuntungkan sebab saat kepercayaan dengan konsumen sudah terbangun, mekanisme ini akan meningkatkan peluang orderan menjadi semakin tinggi.
Apalagi ketika pembeli juga memberikan garansi pengembalian bila barang yang diterima konsumen dianggap tidak sesuai dengan transaksi pembelian yang dilakukan melalui platform marketplace.
Berdasarkan statistik e-commerce pada 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dari sekitar 17 ribu usaha e-commerce di Indonesia yang didata, 73 persen di antaranya menggunakan metode pembayaran tunai atau COD.
Fakta di lapangan menerangkan, transaksi metode COD ternyata lebih banyak dipilih oleh pembeli karena mereka lebih merasa nyaman telah bisa memastikan barang pesanannya mendarat dengan selamat sebelum mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya.
Namun, ada ketentuan yang perlu diketahui pula. Sakti menjelaskan tentang adanya pembatasan untuk menggunakan metode pembayaran COD bagi pembeli yang melakukan pembatalan pesanan beberapa kali dalam satuan waktu tertentu melalui platform di marketplace.
Merujuk pada ketentuan yang didapatkan dari laman marketplace pada umumnya, bagi pembeli yang kedapatan beberapa kali membatalkan transaksi COD, pihak marketplace akan menonaktifkan atau mencabut fasilitas pembayaran COD selama beberapa waktu.
Metode ini dilakukan untuk membatasi kebiasaan pembeli yang sering melakukan penolakan paket dengan kiriman bayar di tempat meski tanpa alasan apapun.
Lalu apa yang menjadi argumentasi pihak marketplace menerbitkan ketentuan penonaktifan bagi pembeli tipe ini? Hal ini disebabkan pembatalan order dengan alasan apapun yang dilakukan pembeli sebelum barang sampai di alamat tujuan, bisa merugikan penjual.
Kerugian yang diderita penjual ketika pembeli mendadak membatalkan transaksi antara lain biaya proses pengemasan paket, ongkos tenaga kerja, biaya bahan bakar kendaraan, dan risiko atas kerusakan barang yang mungkin terjadi pada saat barang dalam pengiriman.
Beberapa biaya itu sebenarnya sudah diperhitungkan penjual pada transaksi yang dilakukan secara transfer bank. Namun sepertinya masih di luar perkiraan ketika pembatalan dilakukan oleh pembeli secara mendadak.
Biasanya saat penjual mempersiapkan paket dengan mekanisme transfer, hal ini sudah sesuai spesifikasi yang di order pembeli, sehingga risiko penolakan menjadi tidak ada dalam hitungan penjual barang.
Artinya, ketika pembeli ingin mengembalikan barang dengan alasan yang masuk akal, semisal karena barang tidak sesuai spesifikasi dalam akad jual beli atau rusak tidak berfungsi, tentu hal itu bisa dilakukan setelah paket dibuka.
Dengan demikian ada kepastian terhadap kondisi kualitas barang. Selain itu, potensi kerugian yang mungkin ditanggung penjual akan lebih terukur jumlahnya karena dapat lebih mudah diprediksi atas biaya-biaya tak terduga yang mungkin akan timbul.
Pembenahan Skema COD
Baratadewa Sakti Praktisi Keuangan Keluarga dan Pendamping Bisnis UMKM menyampakan saran langkah-langkah yang bisa dilakukan pihak terkait sehingga ke depan skema COD bisa lebih menenangkan dan menentramkan untuk semua.
Pihak Marketplace
Marketplace menerbitkan klausula berupa dua opsi bagi pembeli untuk memilih membatalkan transaksi atau meneruskan. Dengan konsekuensi bagi pembeli yang memilih untuk membatalkan transaksi jual beli akan menerima bahwa pembeli setuju menyerahkan uang kepada kurir untuk membayar biaya ekspedisi beserta biaya pengemasan barang.
Atau meneruskan akad jual belinya dengan cara membayar tagihan pembelian barang dan kurir bisa menerima klaim garansi dengan konsekuensi bahwa pihak pembeli tidak dikenakan biaya ekspedisi dan pengemasan barang.
Marketplace memperbanyak sosialisasi dan literasi kepada penjual dan pembeli tentang fasilitas pembayaran COD untuk memberikan penegasan bahwa skema ini lebih tepat disebut dengan skema janji beli, bukan akad jual beli seperti biasanya.
Ciri-ciri dari skema janji beli memiliki konsekuensi bahwa pembeli belum menyerahkan uang pembayaran atas barang yang dia pilih.
Sehingga apabila pihak pembeli membatalkan transaksi janji beli ini dengan alasan apapun, maka tidak ada kewajiban keuangan apapun yang dikeluarkan pembeli kecuali untuk sekedar mengganti biaya pengemasan dan ekspedisi.
Pihak Penjual
Penjual wajib memahami perbedaan konsekuensi antara skema janji beli dengan jual beli.
Penjual wajib pastikan telah mencantumkan spesifikasi barang yang sejelas-jelasnya pada lapak onlinenya di marketplace.
Penjual wajib menyerahkan proses pengemasan akhir kepada ekspedisi.
Penjual wajib mencetak label pengiriman (cetak pesanan yang memuat spesifikasi barang sesuai akad janji beli) yang dapat dibaca secara jelas dan ditempelkan pada paket yang akan dikirim.
Pihak Ekspedisi
Ekspedisi wajib memiliki divisi khusus yang menangani pengemasan barang final dengan prosedur rupa dan kualitas kemas yang seragam.
Ekspedisi wajib memastikan kuantitas, kualitas dan spesifikasi barang yang dikemas sudah sesuai dengan akad janji beli yang dilakukan pada platform marketplace.
Kurir wajib menjelaskan kepada pihak pembeli bahwa ekspedisi telah melakukan proses sortir barang sesuai prosedur yang berlaku.
Kurir wajib memastikan penerimaan uang pembayaran baik secara fisik maupun digital jika barang telah diterima dan di cek pembeli.
Kurir wajib menegaskan penjelasan bahwa apabila pembeli telah membongkar kemasan dan mendapati barang tidak sesuai ekpektasinya, maka pembeli boleh memilih untuk membatalkan transaksi jual beli dengan konsekuensi berlakunya syarat bahwa pembeli setuju menyerahkan uang kepada kurir untuk membayar biaya ekspedisi beserta biaya pengemasan barang.
Atau meneruskan akad jual belinya dengan cara membayar tagihan pembelian barang dan kurir bisa menerima klaim garansi dengan konsekuensi bahwa pihak pembeli tidak dikenakan biaya ekspedisi dan pengemasan barang.
Dalam belanja online, pada prinsipnya ada beberapa pihak yang terlibat. Pihak penjual adalah pihak yang menggelar dagangan di plaform marketplace, memasarkannya, dan mengirimkannya melalui ekspedisi sampai ke pembeli. Penjual inilah yang punya stok barang, melakukan pengemasan barang, dan yang akan menerima uang pembayaran setelah transaksi berjalan lancar dan tuntas dilakukan.
Namun karena uang yang dibayarkan pembeli tidak langsung sampai ke para penjual. Maka pihak marketplace yang menjadi koordinator dalam proses pemesanan hingga pengiriman barang, perlu menerbitkan standar operasi yang detail dan mudah diimplementasikan di lapangan sehingga dalam praktiknya, marketplace yang memiliki kaitan langsung dengan pihak penjual dan pihak ekspedisi harus dapat memastikan barang yang dipilih benar-benar sampai ke tangan pembeli.
Jika standar operasi dapat dibenahi secara komprehensif, maka kejadian – kejadian yang membuat para kurir berpotensi menjadi pihak yang paling awal terkena komplain dari pembeli karena skema COD ini, insyaallah dapat lebih mudah dikendalikan.(ant/tin)