Dokter Ari Baskoro Sp.PD, Staf Dosen Senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/Kelompok Staf Medik (KSM) Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya meminta masyarakat tidak perlu khawatir bila belum mendapatkan dosis kedua vaksin Covid-19.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang juga mengambil spesialisasi di bidang alergi-imunologi (dia juga Anggota Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia/Peralmuni) itu memastikan, tidak ada masalah bila seseorang yang sudah menerima vaksin Covid-19 dosis pertama mendapatkan dosis kedua melebihi batas waktu yang ditetapkan.
Dia mengakui, kekuatan (titer) antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi dosis pertama bisa melandai dan lambat laun tidak bisa terdeteksi secara laboratoris. Namun, sel memori di dalam tubuh akan tetap bekerja optimal begitu tubuh mendapatkan vaksin dosis kedua.
“Jadi, itu seperti kinerja memori di otak kita. Misalnya begini, saya pernah sekali bertemu dengan Anda. Lalu ketemu lagi setelah beberapa lama, misalnya sampai dua tahun, begitu, ya. Maka memori saya masih akan menyimpan, bahwa Anda itu tingginya segini. Pakai kaca mata. Wajahnya ganteng, dan sebagainya,” katanya kepada suarasurabaya.net, Senin (2/8/2021).
Penjelasan secara teknisnya begini. Ketika seseorang mendapatkan vaksin dosis pertama, orang tersebut dinyatakan telah mendapatkan primary immune response (respons imun utama) sehingga terbentuk antibodi untuk melawan virus penyebab Covid-19.
Puncak antibodi yang terbentuk setelah mendapatkan vaksin dosis pertama itu, kata dokter Ari, umumnya terjadi sekitar 30 hari pasca-vaksinasi. Setelahnya, antibodi yang terbentuk itu akan melandai dan akhirnya titernya sangat rendah bila tidak diberi vaksin dosis kedua.
Namun, Ari menegaskan, “sel memori” yang ada di dalam tubuh kita tidak akan lupa dengan vaksin pertama dan antibodi yang terbentuk. Sel memori itu akan “mengingat” dan segera meningkatkan respons imun dengan sangat cepat bila tubuh sudah mendapatkan induksi vaksin kedua.
“Dalam hitungan jam sampai beberapa hari saja setelah mendapat dosis kedua, akan muncul antibodi dengan titer tinggi (kualitas dan kuantitas dibentuk dalam waktu singkat) dalam tubuh kita, meski jeda waktunya cukup lama dengan dosis pertama,” katanya.
Meski belum ada riset yang pasti tentang berapa lama antibodi benar-benar melandai dan tidak terdeteksi, Ari menegaskan keyakinannya, bahwa sel memori yang ada di dalam tubuh kita akan tetap mengenali vaksin dan memunculkan antibodi ketika mendapatkan vaksin dosis kedua.
“Diperkirakan, dalam jangka 1 tahun sampai 18 bulan (satu setengah tahun), antibodi ini akan menurun bertahap hingga akhirnya tidak terdeteksi. Tetapi sel memori akan tetap eksis! Sehingga sel-sel dalam tubuh tetap bekerja optimal memproduksi antibodi, begitu mendapatkan vaksin kedua,” ujarnya, menegaskan.
Baru-baru ini masyarakat mengeluhkan tentang vaksinasi dosis kedua yang tidak segera mereka dapatkan sesuai jadwal karena alasan keterbatasan vaksin yang dimilik pemerintah. Pemprov Jatim mengakui itu, karena adanya kekurangan pasokan vaksin dari pusat.
Dokter Ari mengakui, saat ini seluruh dunia, terutama negara berkembang seperti Indonesia, sedang berebut dengan negara lain untuk mendapatkan pasokan vaksin dari luar negeri. Sementara, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Israel, Inggris dan lain sebagainya, mereka sudah memborong vaksin sejak lama.
Dengan adanya penjelasan ini, dia berharap bahwa masyarakat dan pemerintah tidak perlu khawatir kalau memang terjadi keterlambatan pemberian vaksin antara dosis pertama dan kedua karena faktor situasi yang terjadi.
Berkaitan adanya sel memori di dalam tubuh itu juga, apa yang dia jelaskan sekaligus bisa menjadi wacana, bahwa sangat mungkin setiap orang di dunia, termasuk di Indonesia, pada akhirnya akan mendapatkan vaksinasi reguler setiap 1 tahun sekali. Itu seperti yang sudah terjadi berkaitan dengan vaksin Influenza musiman.(den)