Senin, 25 November 2024

Soroti Kasus Penganiyaan Anak di Malang, Pemerhati: Orangtua Harus Ikut Merasa Terhukum

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi.

Orangtua harus merasa terhukum atas kasus pemerkosaan sekaligus penganiyaan yang menimpa HN (13 tahun) siswi Sekolah Dasar (SD) di Malang, Jawa Timur. Hal itu disampaikan oleh Hikmah Bawaqih Pemerhati Perempuan dan Anak.

Bukan tanpa alasan, Hikmah mengatakan kekerasan terhadap anak terus meningkat, bukan hanya secara kuantitas namun juga kualitas kekejaman kekerasannya. Salah satu penyebabnya adalah pengabaian orangtua dan pola asuh yang salah.

Perempuan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jatim itu mengatakan, 90 persen kasus kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh orang terdekat korban.

Apalagi dengan perkembangan teknologi, korban juga berisiko mengalami trauma lebih berat karena tidak hanya mengalami penindakan fisik, tapi juga trauma psikis yang lebih hebat karena adanya acanaman atau penyebaran video kekerasan yang ia alami.

Lingkungan Pengasuhan yang Salah

Hikmah menyampaikan, poin penting yang harus menjadi perhatian dalam kasus ini adalah tentang pola asuh dan lingkungan pengasuhan yang salah yang dilakukan orangtua dan keluarga, sehingga anak-anak terabaikan dan tidak mendapatkan hak perlindungan yang seharusnya mereka terima di masa pertumbuhan.

“Yang perlu dikaji adalah, mengapa anak-anak bertujuh melakukan itu? Kenapa pelaku anak-anak melakukan tindakan itu dan direspon anak-anak lain dengan penganiyaan? Apa yang terjadi pada anak-anak kita? lingkungan pengasuhan oleh orangtua yang seperti apa yang membuat mereka sedingin dan sebrutal itu?,” papar Hikmah kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (26/11/2021).

Selain kasus penganiyaan yang terjadi di perumahan Araya, Malang ini, Hikmah mengaku juga mendapatkan banyak laporan kekerasan terhadap anak baik kekerasan seksual, bullying dan penganiyaan dengan jenis kekerasan yang lebih kejam. Hal itu membuat ia berkesimpulan, akibat pola asuh dan kurangnya dukungan dari orangtua, anak tidak dapat tumbuh secara optimal sesuai perkembangan fisik dan psikisnya.

“Secara fisik misalnya, mereka (anak-anak) diperlakukan seperti orang dewasa. Secara psikis, orangtua tidak memahami bahwa anak-anak butuh perhatian sekaligus kontrol yang lebih,” lanjutnya.

Selama ini dari beberapa kasus yang ia proses, Hikmah mengatakan kebanyakan kasus kekerasan terhadap anak disebabkan orangtua yang cenderung mengabaikan dan membiarkankan anak-anak mereka. Menganggap perbuatan yang salah itu karena kesalahan anak-anak sendiri dan orangtua gagal menjadi ‘panglima’ terhadap tumbuh kembang anak, serta melupakan fungsi kontrol terhadap anak-anak.

“Orangtua harus merasa terhukum bahwa ternyata dunia anak-anak semakin tidak aman dan kita berkontribusi membuat dunia tidak aman dengan melakukan pengabaian-pengabaian dalam banyak hal,” tegasnya.

Sikap Permisif Masyarakat Terhadap Pernikahan Dini karena Kehamilan

Semakin hari, angka permohonan pernikahan usia dini yang diajukan ke Pengadilan Agama melonjak tajam. Menurut Hikmah, penyebabnya bukan hanya karena batas usia pernikahan yang ditambah, namun juga pernikahan karena kehamilan (married by accident) yang tinggi.

Sedangkan di sisi lain, banyak masyarakat yang bersikap permisif terhadap fenomena ini. Sikap permisif terhadap pelanggar norma sosial dan norma agama otomatis akan menciptakan kondisi yang tidak sehat secara psikososial di masyarakat.

“Sekarang ada gejala yang menganggap hal itu lazim, tidak memalukan. Padahal ini bahaya. Permisifnya kita terhadap kesalahan-kesalahan ini naik. Permisifnya kita kepada pelanggar patut dipertanyakan,” ujarnya.

Apalagi dalam kasus penganiyaan anak di Malang ini, baik korban maupun pelaku berada di lingkungan yang tidak beruntung secara sosial maupun ekonomi. Hikmah menyebut, mereka berada pada irisan lingkungan sekunder, yakni lingkungan yang berisiko tinggi memicu anak-anak menjadi korban dan pelaku kekerasan.

“Seperti kalau di perkotaan lingkungan plural miskin, difabel, anak-anak dari keluarga berantakan, anak-anak di pengungsian atau wilayah konflik dan sebagainya. Mereka lah yang potensial menjadi korban atau pelaku,” paparnya.

Sehingga yang harus dilakukan adalah mengubah lingkungan yang Hikmah sebut sebagai lingkungan sekunder tersebut, menjadi berisiko rendah atau lebih berdaya.

Kasus Penganiyaan Anak dalam Persprektif Hukum

Sedangkan mengenai hukum yang diterima oleh pelaku pemerkosaan dan penganiyaan di Malang tersebut, Hikmah mengatakan bahwa hukum memang mempertimbangkan pelaku yang masih di bawah umur. Namun di sisi lain, hukum juga harus berdasarkan asas keadilan bagi korban dan keluarganya.

“Bagi saya problem ini tidak cukup dengan rehabilitasi. Harus ada efek jera melihat jenis kekejamannya. Tapi tentu kalau anak-anak diperlakukan berbeda,” tutupnya.

Seperti yang diketahui, beberapa hari yang lalu masyarakat dihebohkan dengan kasus penganiyaan yang menimpa seorang anak panti asuhan berinisial HN yang masih duduk di kelas 6 SD.

Ia dikeroyok oleh para terduga pembully serta persekusi bermotif kesal. Pasalnya, ada wanita lain yang tidur bersama suami siri dari salah satu terduga pelaku bully dan persekusi.

Sedangkan yang terjadi, korban mengaku bahwa ia diperkosa oleh pelaku dengan ancaman benda tajam.

Enam tersangka kekerasan terhadap anak dikenakan pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau pasal 170 ayat 2 KUHP dan atau pasal 33 ayat 2 KUHP, dengan ancaman penjara tujuh tahun.

Sedangkan, tersangka persetubuhan terhadap anak dikenakan pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan diancam hukuman penjara 5-15 tahun. (tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
35o
Kurs