Aminah (bukan nama sebenarnya), perempuan yang terdata sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Kota Surabaya mengaku kebingungan.
Putri (juga bukan nama sebenarnya) cucunya, yang bersekolah di salah satu SMP Negeri di Surabaya, harus membeli seragam sekolah supaya bisa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas yang dimulai Senin (6/9/2021) besok.
Aminah adalah pedagang kaki lima yang menjual makanan dan minuman dengan rombong kecil di salah satu taman di Surabaya.
Saat Putri memberitahukan harga seragam sekolah yang harus dibayar supaya bisa ikut PTM, Aminah bingung harus mencari uang ke mana.
Baginya, harga seragam sekolah yang harus dibeli di koperasi SMP Negeri tempat putri bersekolah itu sangat tidak terjangkau. Karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hasil dagangannya kadang tidak mencukupi.
Kisah Aminah dan Putri ini mewakili apa yang dikeluhkan sejumlah wali murid kepada Armuji Wakil Wali Kota Surabaya, dan sempat dibantah oleh Soepomo Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Suarasurabaya.net menemui Aminah di rombong kecilnya di pojokan sebuah taman di Surabaya, Minggu (5/9/2021) siang.
Saat itu, di taman sedang sepi. Pandemi Covid-19 memang membuat hampir seluruh taman di Surabaya belum dibuka. Tapi karena jadi satu-satunya ladang penghasilan keluarga, Aminah tetap berjualan di sana.
Perempuan paruh baya itu pun menceritakan, baru-baru ini Putri diterima di salah satu SMP Negeri di Surabaya lewat jalur zonasi.
Itu pun, kata Aminah, karena upaya Putri sendiri yang memang sangat ingin melanjutkan sekolah.
Dia turut bahagia. Tapi Aminah sekaligus sedih. Sebagai seorang pedagang dengan penghasilan tidak seberapa, sebenarnya dia merasa tidak mampu bila harus membiayai kebutuhan sekolah Putri.
Kekhawatiran Aminah terjadi. Beberapa hari lalu Putri menyampaikan, supaya bisa ikut pembelajaran tatap muka, Senin besok, Putri harus membeli seragam di koperasi sekolah.
Harganya tidak murah. Untuk bahannya saja (kain dan sejumlah atribut seragam), biayanya Rp1,3 juta. Itu belum termasuk biaya menjahitkan kain menjadi baju seragam siap pakai.
Aminah pun berupaya menempuh segala cara untuk menebus seragam sekolah yang dibutuhkan cucunya.
Namun, semua jalan, yakni dengan cara meminjam ke siapa pun yang terpikir untuk dipinjami uang, selalu buntu.
Aminah pun menyerah dan pasrah. Sebenarnya Aminah tidak rela kalau Putri harus putus sekolah gara-gara tidak bisa membeli seragam, tapi mau bagaimana lagi?
Karena terbebani dengan pikiran-pikiran tentang Putri, dia pun menceritakan kondisinya kepada salah satu teman sesama pedagang di taman.
Kebetulan, saat itu, Ocha yang merupakan relawan dari Yayasan Sosial Gerakan Mengajak Sekolah (Gemes) mendengarnya.
Dari pertemuan itulah, Aminah dan Putri mendapat jalan keluar tentang masalah pembelian seragam sekolah ini.
Ocha membantu Aminah dengan melakukan negosiasi ke pihak sekolah supaya dibolehkan membeli atribut saja. Misalnya cuma emblem. Bahan seragamnya bisa dibeli di luar dengan pertimbangan harga yang jauh lebih murah.
Minggu siang tadi, Ocha turut mendampingi suarasurabaya.net menemui Aminah.
Dia yang sudah menemui pihak SMP Negeri tempat Putri bersekolah mengakui, sekolah memang tidak mewajibkan semua siswanya membeli seragam di koperasi.
Namun, kepada Ocha, pihak sekolah mengingatkan, seragam yang dijual di luar sekolah berbeda dalam hal bahan dan model yang ditentukan sekolah.
Akhirnya, Ocha pun mengajukan bantuan dana kepada Yayasan Gemes tempat dia terlibat dalam berbagai kegiatan agar mendanai pembelian seragam untuk Putri.
“Karena tidak mungkin Putri membeli seragam di luar. Modelnya beda. Saya pribadi sangat mementingkan perasaan Putri. Supaya tidak merasa lain dengan teman-temannya yang membeli seragam di sekolah,” kata Ocha.
Usulannya disetujui. Ocha membayarkan Rp1.3 juta untuk pembelian bahan seragam yang akan dipakai oleh Putri.
Seperti diketahui, harga itu belum termasuk biaya untuk menjahitkan baju yang kurang lebih Rp300 ribu.
“Tidak apa-apa asalkan bahannya sama seperti punya teman-temannya, dan modelnya juga sejenis dengan panduan model dari sekolah,” kata Ocha
Ocha mengatakan, Putri adalah siswa dari keluarga MBR yang masih bisa dibilang beruntung. Putri bisa mendapat pendampingan dari yayasan atau komunitas yang peduli terhadap dunia pendidikan.
Dia menduga, masih banyak siswa lain dari keluarga MBR yang harus berjuang sendirian di Kota Pahlawan.
Apalagi, kata Ocha, tidak hanya seragam, keperluan sekolah lainnya juga masih cukup banyak. Seperti kebutuhan alat tulis, sepatu, juga buku LKS.(ton/den)