Sidang lanjutan dugaan korupsi suap pengisian jabatan dengan terdakwa Novi Rahman Hidayat Mantan Bupati Nganjuk digelar di Pengadilan Negeri Tipikor, Senin (18/20/2021).
Agenda kali ini mendengarkan keterangan 13 orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Seolah-olah kompak, para saksi mengaku tidak pernah tahu soal aliran uang jual beli jabatan.
Sekadar mengingatkan, Novi Rahman Hidayat tertangkap tangan oleh Tim Penyidik KPK yang bekerja sama dengan Bareskrim Polri pada 9 Mei lalu dengan dugaan korupsi suap pengisian jabatan.
Dari hasil pemeriksaan itu, KPK menetapkan Novi dan Izza ajudan Bupati sebagai tersangka penerima suap untuk jabatan camat dengan nominal bervariasi, mulai dari Rp10 juta sampai Rp150 juta.
Selain itu, KPK juga menetapkan lima orang tersangka pemberi suap. Di antaranya Edie Srijato Camat Tanjunganom sekaligus Plt. Camat Sukomoro, Dupriono Camat Pace, Bambang Subagio Camat Loceret, Haryanto Camat Berbek, dan Tri Basuki Widodo mantan Camat Sukomoro.
Pada sidang kali ini Marhaen Junaedi Plt Bupati Nganjuk menjadi salah satu saksi yang dihadirkan. Di persidangan itu dia mengaku tidak tahu soal mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk, karena kewenangan mutasi pejabat di lingkungan Pemkab adalah hak atau kewenangan penuh Bupati. Dia juga mengatakan tidak pernah dimintai pertimbangan soal mutasi oleh Novi sebagai Bupati saat itu.
“Tidak pernah dimintai pendapat dan memang tidak ada kewajiban. Mutasi jabatan itu tugas bupati, yang punya kewenangan penuh adalah bupati,” katanya di persidangan.
JPU sempat menanyakan, apakah Marhaen pernah memberi uang terima kasih untuk Novi selama sebagai pejabat? Junaedi mengaku Novi tidak pernah meminta apapun. Baik uang maupun barang.
Saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan itu adalah Purwoto Kepala Desa Plandangan. Dia mengaku pernah dihubungi Dupriono, Camat Pace yang menjadi terdakwa pemberi suap.
Melalui salah satu kades, Dupriono meminta Purwoto untuk menyediakan uang antara Rp10 juta sampai Rp15 juta untuk pengisian perangkat di desanya. Namun, Purwoto mengaku, saat itu dia tolak mentah-mentah.
“Saya menolak. Saat itu saya tidak mau memberikan,” ujarnya.
Saksi lain yang turut dihadirkan adalah Dedi Wahyu Kasi Trantib Kecamatan Tanjunganom.
Di persidangan itu Dedi mengakui, dia pernah meminta Edie Srijato Camat Tanjunganom (salah satu terdakwa pemberi suap) menempatkannya di salah satu jabatan di Kecamatan Tanjunganom.
Setelah memperoleh jabatan yang dia inginkan, Edie Srijato Camat Tanjunganom saat itu memintanya menyetorkan uang Rp40 juta. Uang itu, menurut Srijato, akan diambil oleh Izza, Ajudan Bupati.
“Hanya diberitahu, uang itu akan diambil Izza,” ujarnya.
Sejumlah saksi lain yang ditanya seputar uang suap terkait mutasi jabatan kepala desa dan camat, rata-rata menjawab tidak tahu. “Tidak tahu, tidak pernah melihat juga,” ujar mereka secara bergiliran.
Ada satu lagi saksi yang dihadirkan di persidangan, yang tidak berkaitan langsung dengan kasus itu. Adalah Riana Rosnawati karyawan PT Tunas Jaya Raya Abadi Group, perusahaan milik ayah Novi.
Kepada JPU dia mengatakan, sejak menjadi Bupati, Novi Rahman tidak pernah memintainya uang seperti sebelumnya. Dia mengakui, sebelum menjadi bupati, Novi pernah meminta uang perusahaan.
“Pernah minta uang Rp1 miliar untuk keperluan lebaran. Biasanya minta langsung ke kasir. Tapi waktu itu ke saya. Biasanya setiap tahun beliau memang meminta uang,” ujarnya.
Uang yang Novi minta setiap menjelang lebaran, menurut Riana, biasanya dipakai untuk memberikan parsel kepada para karyawan perusahaan juga untuk sedekah kepada anak yatim piatu.
JPU sempat menanyakan tentang uang di dalam brankas kantor bupati yang ditemukan KPK. Sama seperti saksi lainnya, pada akhirnya dia menjawab tidak tahu dan tidak pernah melihatnya.(den/rs)