Iqbal Felesiano Pakar Hukum Pidana dari Universitas Airlangga mengatakan, keserakahan individu jadi salah satu penyebab kasus korupsi terus ada meskipun di tengah pandemi seperti saat ini.
Iqbal menjelaskan, secara umum penyebab korupsi di antaranya karena kekuasaan, kebutuhan dan keserakahan.
Namun dia menilai penyebab yang paling bahaya adalah keserakahan. Ini karena menurutnya tidak ada motif lain bagi individu yang mampu secara ekonomi namun tetap melakukan korupsi, kecuali serakah.
“Dia memang pada dasarnya orang yang serakah. Faktor penyebab korupsi yang selama pandemi muncul adalah karena kasus keserakahan, bukan karena faktor politis. Sudah gak ada obatnya,” kata Iqbal kepada Suara Surabaya, Rabu (1/9/2021).
Selain itu dia berpendapat perkembangan penanganan kasus korupsi di Indonesia saat ini sebenarnya sudah baik. Namun dengan kian maraknya kasus korupsi, seolah-olah penanganannya terkesan jalan di tempat. Iqbal menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan itu terjadi seperti longgarnya regulasi dan vonis ringan yang dijatuhkan sehingga tidak memberikan efek jera.
“Faktornya banyak. Regulasi longgar memungkinkan koruptor untuk melakukannya atau karena ada beberapa grand corruption yang vonisnya cukup ringan. Atau tidak ada kesadaran bersama dari masyarakat yang menginginkan negara harus berkembang dengan cukup baik. Faktor yang paling mendukung korupsi adalah tidak adanya regulasi dan tidak ada efek jera yang memberikan rasa kapok,” terang pegiat anti korupsi ini.
“Kecenderungan vonis tipikor rangenya 1,5-2,5 tahun, akhirnya mendorong orang-orang yang korupsi untuk tergiur,” imbuhnya.
Iqbal bilang dalam pola pengawasan sebenarnya sudah dirancang dari satuan terkecil yaitu desa hingga di tingkat pemerintah daerah. Namun ini dinilainya belum terlaksana semaksimal mungkin sehingga mengakibatkan ‘kebocoran’ di sana sini.
Diperlukan peran dan kepedulian dari masyarakat untuk ikut mengawasi dan tidak membiarkan bahkan terlibat dalam praktik korupsi sekecil apapun itu.
“Kadang-kadang ada oknum yang meminta bayaran untuk mempercepat proses pembuatan dokumen. Lalu masyarakat memberikan sejumlah uang yang dinilainya tidak seberapa asal dokumen cepat jadi. Secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi mereka untuk pungli dan kita tidak sadar kalau perilaku itu mendorong oknum itu untuk korupsi,” ujarnya.
“Kalau masyarakat bisa sadar sekecil apapun uang yang diberikan tidak sesuai SOP, akan mendorong korupsi terus terjadi karena lama kelamaan oknum merasa diuntungkan,” Iqbal melanjutkan.(dfn/ipg)