Jumat, 22 November 2024

Road to Energy Green: Mengubah Kotoran Sapi Jadi Briket

Laporan oleh Chusnul Mubasyirin
Bagikan
Hasil produksi biogas, dalam program pengabdian kampus PEM Akamigas sebelumnya. Digunakan untuk penerangan di rumah-rumah penduduk. Foto: Istimewa

Menghadirkan energi ramah lingkungan itu mudah, sederhana dan murah. Jangan dibayangkan menggunakan teknologi canggih, besar dan mahal. Dimulai dari pemakaian produk untuk aktifitas sehari-hari skala rumahan, seperti masak-memasak, produk yang dibutuhkan hanya sekira puluhan ribu harganya.

Teknologi dan produk seperti itulah yang ingin dipersembahkan kampus Politeknik Energi dan Mineral (PEM) Akamigas, dalam pengabdiannya sebagai realisasi konkrit Tri Darma Perguruan Tinggi, di Desa Brabowan Kecamatan Sambong Kabupaten Blora Jawa Tengah.

Prof. Dr. R Y Perry Burhan, M.Sc Direktur PEM Akamigas mengatakan, pengembangan energi alternatif dengan teknologi sederhana, dilakukan dalam kegiatan pengabdian untuk masyarakat. “Perguruan Tinggi harus hadir dan dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Apa yang dihadirkan para akademisi PEM Akamigas, dekat dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga berguna untuk kehidupan sehari-hari,” katanya.

Prof. Dr. R Y Perry Burhan, M.Sc Direktur PEM Akamigas, dalam sebuah acara Abmas di Pati. Foto: Istimewa

Dengan memanfaatkan bahan baku kotoran sapi, yang banyak ditemukan di Desa Brabowan, para akademisi PEM Akamigas akan mengubahnya menjadi briket, sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.

Warga desa akan diajari apa itu briket, kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana membuatnya dengan mudah dan murah. Dengan teknik yang sederhana dan mudah, warga bisa menerapkan keterampilan itu dalam tempo cepat.

Menurut Prof Perry Burhan, masyarakat sasaran diperkirakan hanya butuh waktu satu sampai dua minggu, sudah mahir mengolah kotoran sapi menjadi briket. Berikutnya bisa dilakukan mandiri, dan para akademisi tinggal melakukan pendampingan sampai beberapa waktu selama lebih kurang setahun selama pengabdian.

Contoh produk briket, yang dibuat memanfaatkan kotoran sapi. Sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Foto: Istimewa

Sebelumnya, diversifikasi pengolahan kotoran sapi menjadi briket dilakukan uji coba di laboratorium oleh PEM Akamigas. Kotoran sapi dicampur dengan beberapa biomasa lain, dicetak, kemudian dikeringkan. Dari penelitian hingga berhasil membuat produk jadi dan bisa dipakai, disebutkan, hanya butuh lebih kurang 3 minggu sampai satu bulan.

Metode yang sama akan dipakai saat pelatihan pada masyarakat Desa Brabowan. Sosialisasi akan dilakukan mulai Jumat (12/11/2021) besok. Sesudah itu, masyarakat diharapkan bisa melanjutkan produksi sampai berhasil membuat produk briket, dan bisa dipakai untuk pemanas masak-memasak.

Desa Brabowan dipilih jadi pilot project, atas saran Bupati Blora. Selain karena berada di dekat lingkungan kampur PEM Akamigas, desa itu mayoritas warganya punya ternak sapi. Sehingga memudahkan tersedianya bahan baku untuk pembuatan briket.

Kalau proyek pengembangan briket di Desa Brabowan berhasil, menurut Prof Perry, tidak menutup kemungkinan akan diduplikasi ke desa-desa lain di Blora. Seperti sebelumnya, yang juga dilakukan di beberapa desa, untuk pengembangan biogas dari bahan kotoran sapi.

Sementara ini, diakui, target yang ingin dibangun diantaranya mengukur seberapa banyak bahan baku yang ada untuk bisa diproduksi. Seberapa besar partisipasi masyarakat bisa dibangun untuk berkembang bersama-sama, dan berbagai kemungkinan lain yang mungkin bisa dikembangkan ke depan.

“Belum ada target kuantitatif semisal berapa banyak produk yang bisa dihasilkan. Atau nantinya bisa dipasarkan dalam jumlah banyak, atau semacamnya. Fokusnya masih perhitungan kualitatif, menciptakan landasan untuk pengembangan ke depan,” katanya.

Setidaknya, produk yang dibuat bisa untuk dipakai sendiri di rumah. Sehingga bisa meringankan kebutuhan energi, yang semula harus membeli gas, menjadi teratasi dengan produk briket yang dibuatnya. Manfaat seperti itulah, yang diharapkan bisa terjadi dan berlangsung di desa-desa binaan.

Dengan memakai teknologi sederhana dan konvensional, juga supaya memudahkan penduduk desa mengoperasikan dan merawatnya. Kalau memakai teknologi besar dan canggih, justru dikhawatirkan mereka tidak bisa memaintenance kalau ada trobel atau kerusakan.

“Hanya butuh alat pengolah, pencetak dan pengering, yang murah dan mudah. Bisa diperbanyak dengan biaya terjangkau, mudah diperbanyak, serta tidak menyulitkan kalau terjadi trobel,” cetusnya.

Sejak awal, masyarakat diajak mandiri. Para pejabat desa dilibatkan, mulai dari kepala desa sampai RT. Mereka yang akan mengorganisasi siapa saja warga yang terlibat, waktu produksi, dan kelanjutannya. “Kami dari pihak kampus, akan memberi pembekalan keahlian dan pendampingan selama proses berlangsung,” katanya.

Setidaknya tiap tiga bulan akan dilakukan evaluasi, apakah ada kendala yang dihadapi, atau bahkan mungkin ditemukan inovasi baru, yang justru bisa memperkaya produk yang bisa dikembangkan. Mungkin soal bentuk cetakan, campuran biomasa yang bisa memperharum hasil pembakaran, atau bisa lebih dari itu, dibuatkan kemasan sehingga lebih menarik. Diharapkan ada interaksi aktif semua pihak, supaya program pengabdian kampus kepada masyarakat, bisa terjadi hubungan produktif. (cus/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs