Jazuli Juwaini Ketua Fraksi PKS DPR RI mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurutnya, Putusan MK itu memenuhi rasa keadilan dan kegelisahan masyarakat luas terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode penggabungan (omnibus law).
“Fraksi PKS menyambut baik Putusan MK tersebut karena memenuhi rasa keadilan dan kegelisahan rakyat luas terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja. Dengan alasan yang sama Fraksi PKS secara bulat menolak UU tersebut saat pengesahan di DPR,” ujarnya di Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Dalam putusan uji formil, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau inkonstitusional sepanjang tidak diperbaiki dalam waktu dua tahun.
Jazuli berharap, pemerintah selaku inisiator dan pelaksana UU Cipta Kerja menyadari kalau regulasi tersebut cacat, bermasalah, dan berpotensi merugikan kepentingan rakyat seperti buruh, petani, nelayan, dan penyandang disabilitas.
“Pemerintah dan DPR harus menangkap pesan subtansial di luar formil pembentukan bahwa UU ini bermasalah dan tidak berpihak kepada rakyat. Maka, jika perbaikan dilakukan harus jelas pesan keberpihakan tersebut,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Jazuli mengingatkan pemerintah tunduk dan patuh dengan poin lain putusan MK, yaitu menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis, berdampak luas, serta tidak menerbitkan aturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Dia juga minta supaya pemerintah benar-benar mendukung kemandirian nasional lewat produk perundang-undangan.
“Pelaksanaan UU Cipta Kerja harus disetop terlebih dahulu menyangkut kebijakan strategis di berbagai bidang berdasarkan prinsip kemaslahatan umum,” tegasnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11/2021) menyatakan proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat.
Walau begitu, MK menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai adanya perbaikan.
Pertimbangan hukumnya antara lain, MK menilai metode omnibus law yang dipakai dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak jelas sebagai pembuatan UU baru atau revisi.
MK juga menyatakan, proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan publik, walau pemerintah mengklaim sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak termasuk kalangan buruh.
Maka dari itu, MK memerintahkan DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun.
Kalau sampai batas waktu itu perbaikan UU Cipta Kerja tidak tuntas, maka status UU 11/2020 menjadi inkonstitusional permanen.
Konsekuensinya, peraturan lain yang sebelumnya dicabut lewat UU Cipta Kerja harus kembali diberlakukan.
Kemudian, MK juga meminta pemerintah tidak membuat kebijakan strategis yang berdampak luas, atau menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU 11/2020.(rid/tin/ipg)