Artis Indonesia Vanessa Angel dan suaminya meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di Tol Jombang pada Kamis (4/11/2021).
Kepergian keduanya yang mendadak membuat publik menaruh atensi tinggi. Terlebih lagi mereka adalah publik figur.
Foto-foto korban saat mengalami kecelakaan di jalan tol pun banyak dibagikan netizen di berbagai platform.
Tentu saja ini bukan yang pertama. Masyarakat kita sudah berkali-kali dihadapkan dengan fenomena ini, di mana membagikan foto atau video korban dibagikan secara bebas tanpa nurani. Tanpa memperhatikan perasaan keluarga korban yang ditinggalkan atau dampak lain bagi yang terpapar informasi ini.
Stefani Virlia Dosen Psikologi Klinis Universitas Ciputra mengatakan, ada dampak psikologis yaitu rasa trauma yang ditimbulkan dari membaca atau melihat foto dan video yang berisi hal-hal yang tidak menyenangkan, terlebih pada korban kecelakaan.
“Pengalaman traumatis itu sendiri ada dua yaitu trauma primer dan trauma sekunder,” kata Stefani saat mengudara di program Kelana Kota Suara Surabaya, Sabtu (6/11/2021).
Dia menjelaskan, trauma primer adalah trauma yang dialami secara langsung oleh mereka yang menjadi korban atau dalam hal ini adalah keluarganya.
“Trauma sekunder yaitu mereka yang tidak mengalami secara langsung tapi menyaksikannya, sehingga timbul kecemasan dan kekhawatiran yang bisa jadi membawa dampak buruk terutama kepada anak dan remaja karena belum bisa membedakan mana yang betul dan salah,” ujarnya.
Stefani menilai ketika banyak orang yang membagikan foto atau video tersebut seharusnya makin besar empati terhadap kondisi tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat makin banyak yang melihat berdampak kepada rasa empati dan toleransi yang makin berkurang.
“Yang penting kita membagikan informasi atau beritanya supaya orang-orang tahu pembelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini, seperti kalau lelah tidur dulu, istirahat. Bukan justru membagikan foto dan videonya,” imbuhnya.
Media sosial pun dianggapnya terlalu longgar nilai sehingga menjadi hal yang wajar bila netizen saling berbagi foto kejadian tersebut karena orang lain pun melakukan hal yang sama.
Yang harus dipahami pula di sini adalah privasi dari keluarga korban.
“Selain mengalami kedukaan dan efek traumatis bagi keluarga, apalagi foto dan video meninggalkan jejak digital. Itu butuh waktu dan proses. Ketika nanti sudah bisa menerima dengan ikhlas tiba-tiba ketemu lagi foto dan video, akan teringat kembali akan pengalaman traumatis kehilangan itu. Kalau dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif karena rasa kehilangan ini terus ada,” kata Stefani.
Sementara Gilang Gusti Aji Dosen Hukum dan Komunikasi Universitas Surabaya (Unesa) menjelaskan, PR masyarakat masih belum selesai dan perjalanan literasi media ini masih panjang.
“Pekerjaan belum selesai karena anjuran atau pengingatan untuk tidak berbagi sudah berlangsung berkali-kali tapi tetep aja. Orang-orang masih berada di level euforia, ingin berbagi tanpa mengedepankan empati,” jelasnya.
“Kadang kita menemukan orang yang suka sharing adalah yang pendidikannya kurang, tapi di sekitar tak jarang kita temukan orang yang kita sudah anggap cakap juga membagikan,
Dia pun menilai motif orang-orang tersebut membagikan adalah untuk menunjukkan dia yang paling tahu atau tahu lebih dulu.
Sebenarnya saat ini sudah mulai terbangun kesadaran untuk saling koreksi. Masyarakat akan mengkoreksi, saling mengingatkan yang di-sharing suatu hal yang kurang pantas atau kurang beretika.
“Tapi secara umum, kita masih dalam masa transisi untuk membangun etika di media sosial,” pungkasnya.(dfn/ipg)