Martadi Direktur Vokasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengakui, soal-soal dalam tes Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang diproyeksi jadi pengganti Ujian Nasional juga susah.
Tes AKM, kata Martadi, akan meminta siswa untuk melakukan analisis tentang konteks atau peristiwa kekinian yang terjadi di dunia. Misalnya tentang isu Global Warming dan isu-isu lain yang ada.
“Jadi mereka membaca, memahami teks, lalu menganalisis, baru dia bisa menjawab. Makanya ada yang ekstrem mengatakan, AKM ini tidak bisa hanya dengan bimbel (bimbingan belajar) saja,” katanya.
Karena, apa yang menjadi penilaian AKM adalah hasil keterbiasaan siswa sejak kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA dalam hal cara berpikir intelektual. Martadi menjamin, AKM tidak bisa lagi instan.
Karena itu, menurutnya, penerapan AKM belum tepat dilaksanakan sekarang, di masa pandemi Covid-19 yang serba tidak normal, yang mana pendidikan menjadi salah satu sektor paling terdampak.
“Penerapan lebih baik jangan sekarang, karena persiapannya terbatas, proses pembelajaran tidak normal. Menurut saya jangan 2021, paling tidak 2022. Saya pikir ada proses transisi,” ujarnya.
Martadi bilang, meskipun soal-soal dalam tes AKM susah, ditambah tuntutan kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dia meyakini siswa-siswa di Indonesia siap.
“Anak kita itu, kan, subjek. Siap atau tidaknya anak kita bergantung yang menyiapkan. Siapa? Guru, orang tua, kita semua. Anak-anak kita, saya yakin siap. Justru yang jadi pertanyaan, siapkah kita?”
Guru dan orang tua, dengan hadirnya AKM sebagai standar penilaian nasional mengantikan UN, mau tidak mau harus mengubah paradigma atau cara berpikir mereka tentang tujuan pendidikan.
“Kuncinya bergantung bagaimana guru, sekolah dan orangtua mendidik anak dalam cara berpikir. Harus dimulai dari berubahnya cara berpikir kepala sekolah, guru, dan orangtua soal esensi pendidikan ke depan,” katanya.
Beberapa pihak menyangsikan penerapan kebijakan AKM ini. Salah satu alasannya kemampuan dan kompetensi guru di Indonesia belum merata. Terutama bila dilihat dari tingkat desa dan kota.
“Memang kualitas kemampuan guru belum rata. Tapi kalau ditunggu, enggak akan pernah selesai. Saya kira sambil proses, gurunya ditata, calon gurunya dibenahi, disertifikasi, ditingkatkan,” ujarnya.
Semua insan pendidik di Indonesia, kata Martadi, seharusnya berani melakukan perubahan. Kalau AKM belum sempurna, maka disempurnakan bersama. Tapi yang terpenting berani mencoba hal baru dulu.
“Karena, toh, dengan UN selama ini tidak pernah menghasilkan apa-apa. Yang ada muncul problem-problem seperti kecurangan, anak-anak terbebani. Jadi ini sesuatu yang harus dicoba,” ujarnya.
Selain soal tes AKM yang menurut Martadi memang lebih berat dari soal UN biasa karena menuntut cara berpikir tingkat tinggi, ada satu lagi perbedaan AKM dengan Ujian Nasional.
Tes AKM nantinya tidak diikuti oleh semua siswa di satu sekolah. AKM ini menerapkan tes dengan metode sampling siswa. Karena yang diukur adalah kualitas dan mutu pembelajaran di sekolah itu.
Sebenarnya, kata Martadi, tujuan AKM dengan Ujian Nasional sama. Spiritnya sama-sama mengukur kualitas mutu pembelajaran dan kualitas sekolah dengan cara mengetes siswanya.
“Dengan AKM nanti ketahuan, gurunya ngomong, saya sudah mengajar berkualitas, tetapi hasilnya di anak enggak ada. Jadi sebetulnya ini nanti menentukan rapor guru dan rapor sekolah,” ujarnya.
Hasil tes AKM, seperti fungsi Ujian Nasional beberapa tahun terakhir, juga tidak berpengaruh pada nilai kelulusan siswa. Penentu kelulusan siswa adalah sekolah itu sendiri.
“Jadi, kalau sekolah itu bagus standarnya (sesuai dengan tes AKM yang dilakukan dengan standar nasional), bagus indexnya, maka diyakini bahwa mutu siswa yang diluluskan sekolah itu juga bagus,” katanya.(den/ipg)