Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) berhasil mengungkap kasus produksi dan peredaran gelap obat keras dan berbahaya jaringan Jawa Barat-DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Timur-Kalimantan Selatan, yang pabrik pembuatannya berada di wilayah Yogyakarta.
Brigjen Pol Rusdi Hartono Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri mengatakan, sejak 6 September lalu, Ditipidnarkoba Bareskrim Polri menyelenggarakan kegiatan kepolisian yang ditingkatkan dengan sandi Anti-Pil Koplo targetnya produsen dan pengedar gelap obat keras dan berbahaya.
Dia menyatakan itu dalam konferensi pers, di Yogyakarta, Senin (27/9/2021).
“Dari kegiatan kepolisian yang ditingkatkan ini, sekitar tanggal 13 sampai 15 September berhasil mengungkap para pengedar gelap obat-obat keras dan psikotropika dengan menangkap lebih kurang delapan pelakunya,” kata Brigjen Rusdi dilaporkan Antara.
Menurut dia, dari tangan para tersangka, polisi telah menyita barang bukti lebih dari lima juta butir pil golongan obat keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, Tramadol, double L, Aprazolam dari berbagai tempat kejadian perkara (TKP) penangkapan tersangka, yaitu di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur.
“Atas hasil pengungkapan ini, maka tim dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mendapatkan petunjuk bahwa pabrik daripada pembuatan obat keras dan berbahaya ini ada di sekitar wilayah Yogyakarta,” katanya.
Sementara Komisaris Jenderal Polisi Agus Andrianto Kepala Badan Reserse Kriminal Polri mengatakan, pabrik obat keras dan berbahaya tidak berizin yang digerebek polisi di DIY tersebut, diperkirakan mampu mendapatkan omzet sebesar Rp2 miliar per hari.
“Kalau produksinya dua juta butir pil per hari saya kurang tahu harga pastinya berapa, tapi kalau misalnya asumsi satu butir seribu, kalau dua juta butir berarti Rp2 miliar satu hari,” kata Kabareskrim.
Menurut dia, produksi dua juta butir pil golongan obat keras dengan omzet Rp2 miliar itu berasal dari dua pabrik ilegal yang digerebek polisi di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Desa Ngestiharjo Kasihan, Kabupaten Bantul, dan pabrik di Desa Bayuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.
Salah satu pabrik obat keras yang berhasil diungkap jajaran Bareskrim Polri dan jajaran kepolisian kewilayahan tersebut sudah beroperasi sejak 2018, dan baru terungkap pada 2021 karena menurut Kabareskrim operasionalnya yang tertutup dan tidak memiliki izin.
“Kan mereka (operasional) sangat tertutup dan izinnya juga tidak ada, makanya peran serta masyarakat sangat perlu, kalau ada informasi terkait dengan situasi di sekelilingnya mohon diinformasikan kepada polisi terdekat,” kata Kabareskrim.
Saat ini sudah ada 13 orang tersangka mulai pengedar, kemudian distributor yang diamankan dalam kasus peredaran gelap obat keras dan berbahaya jaringan Jawa Barat-DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Timur-Kalimantan Selatan tersebut.
“Ini akan kami tindaklanjuti karena tidak menutup kemungkinan obat-obatan keras dan berbahaya ini sudah diedarkan di seluruh wilayah Indonesia, tentu dari 13 tersangka akan berkembang, karena nanti akan kita upayakan untuk membuka dari transaksi dan komunikasi yang mereka lakukan,” katanya.
Pasal yang disangkakan kepada para tersangka yaitu Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perubahan atas Pasal 197 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.
Kemudian Sub Pasal 196 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.
Lebih subsider Pasal 198 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktek kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak Rp100 juta.
Serta Pasal 60 UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.(ant/dfn/den)