Pada Sabtu siang (5/6/2021) puluhan orang menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Grahadi Surabaya, dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.
Mereka terdiri dari gabungan beberapa organisasi, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), BARA API, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) Surabaya, Aliansi Literasi Surabaya (ALS), BEM UPN, BEM UNAIR, GMNI Surabaya, Paramedis Jalanan, Forum For Indonesia (FFI), dan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Surabaya.
Aksi yang diwarnai dengan pembentangan spanduk raksasa bertuliskan ‘Lingkungan Merana, Pemerintah Kemana’ ini sempat memadatkan lalulintas di kawasan Gedung Grahadi Jalan Gubernur Suryo Surabaya.
Menurut Ilham Saifudin, salah satu peserta aksi dari Aliansi Literasi Surabaya, aksi ini ingin menginformasikan ulang kepada masyarakat luas bahwa lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja.
“Dibalik itu semua pemerintah adalah aktor utamanya,” ujar Ilham
Dalam orasinya, mereka antara lain menyoroti soal ekssploitasi tambang yang sangat gencar terutama di Jawa Timur dalam bebeeapa tahun terakhir.
Ilham menyatakan poin penting dalam krisis sosial-ekologis di Jawa Timur adalah makin meluasnya kawasan industri pertambangan secara ekstrem dan brutal. Agenda ini dikerjakan secara terstruktur, sistematis dan masif oleh pemerintah.
Menurut Ilham sesuai catatan Walhi Jawa Timur, pada 2012 lahan pertambangan di Jawa Timur tercatat mempunyai luasan 80 ribu hektar, Namun pada 2016 jumlahnya meningkat pesat 6 kali lipat sekitar 500 ribu hektare.
“Belum lagi hampir 70 persen wilayah pesisir dan kepulauan di Jawa Timur telah menjadi kawasan konsesi industri migas tanpa persetujuan warga yang bermukim di sana,” lanjut Ilham.
Selain menyampaikan orasinya mereka juga menyebarkan rilis kepada pengguna jalan sebagai upaya membuka wawasan masyarakat akan krisis lingkungan di Indonesia.
Dalam selebaran tersebut mereka mencoba mengingatkan masyarakat luas, bahwa problem lingkungan juga ada di seluruh wilayah Indonesai seperti di Papua. Di masyarakat Malind, Merauke, kawasan hutan seluas 1,2 juta hektar terancam punah, dengan mengatasnamakan pembangunan nasional bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate.
Pendemo menganggap mega proyek yang digadang gadang mengatasi krisis pangan tersebut malah menciptakan krisis pangan bagi masyarakat lokal. Hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan dirampas dan dialih fungsikan atas nama regulasi.
Mereka juga mengkritisi, pasca disahkannya beberapa regulasi seperti Omnibus Law dan UU Minerba, dapat dipastikan ruang hidup masyarakat di Indonesia, baik yang di daratan maupun pesisir, serta pulau-pulau kecil di seluruh nusantara kian terancam keselamatannya. (ton/iss/ipg)