Tirta Mandira Hudhi atau akrab disebut dr. Tirta angkat bicara mengenai edukasi Covid-19 yang menurutnya masih belum efektif. Pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan, edukasi Covid-19 seharusnya disampaikan dalam lingkup terdekat atau community based.
Ia menyebut, saat ini edukasi Covid-19 lebih banyak disampaikan melalui media sosial dengan menggunakan influencer. Sedangkan masih banyak daerah di Indonesia, yang masyarakatnya belum melek digital. Tentu itu akan menjadi masalah saat masyarakat menerima informasi yang salah mengenai Covid-19.
Setelah kasus membludak seperti sekarang, dr. Tirta menilai penting untuk kembali melakukan penanganan Covid-19 dari lingkungan terdekat dan tokoh masyarakat setempat, seperti ulama, local hero, musisi lokal, hingga ketua RT/RW dan sebagainya.
“(Pembatasan) harusnya Maret, April, Mei itu. Sekarang kita sudah telat. Telat, yo wis. Namanya virus baru, telat ok, lah. Tetapi di bulan Agustus lalu kita (sudah sampaikan) kembalikan edukasi kesehatan dan penanganan covid ke daerah masing-masing dan community based,” ujarnya saat berkunjung ke studio Radio Suara Surabaya, Sabtu (6/2/2021) siang.
Ia sekaligus mengkritik keterlibatan inflencer, terlebih influencer nasional, dalam sosialisasi Covid-19. Menurutnya, masalah kesehatan sudah semestinya disampaikan oleh dokter atau ahli, atau dari tokoh masyarakat setempat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada si pemberi pesan sehingga masyarakat mau disiplin protokol kesehatan.
“Kita dari Agustus, para epidemiolog itu dan teman-teman sudah teriak bahwa kita edukasi itu community based. Penggunaan influencer-influencer itu nggak efektif, Pak. Ini kan kesehatan, bukan jualan mobil listrik. Kalau kita jual mobil listrik atau UKM pakai influencer nggak papa,” imbuhnya.
Ia juga mengapresiasi upaya penanganan Covid di Jawa Timur dengan mendirikan Kampung Tangguh. Menurutnya, itu adalah upaya yang harus dimaksimalkan karena saat ini, klaster penularan virus didominasi dari lingkungan terdekat, khususnya keluarga.
Dengan mengerahkan ketua RT/RW dan tokoh masyarakat, maka masyarakat akan lebih paham soal bagaimana cara penularan virus corona dan cara mencegahnya.
“Jadi hoaks itu ketangkap. Yang kita lakukan selama ini cuma edukasi medsos, medsos, medsos, influencer, influencer, gerakan di rumah saja, tapi di kampung-kampung (orang) nggak tahu,” paparnya.
Pria yang menekuni usaha cuci sepatu tersebut juga menyoroti sasaran kebijakan pemnbatasan yang menurutnya salah sasaran. Menurutnya, selama ini klaster Covid-19 lebih banyak berasal dari bidang transportasi, perkampungan dan pasar. Sehingga seharusnya ada kerjasama yang intensif dari dinas-dinas terkait.
Ia lebih menyarankan edukasi agar masyarakat mau untuk membeli makanan/barang melalui jasa pesan antar (delivery) atau dibungkus (take away) ketimbang memberlakukan jam malam.
“Berapa banyak sih orang yang mentok ke restoran? gara-gara covid orang itu delivery kok. Edukasinya bukan jam malamnya, edukasi itu delivery,” tambahnya.
Dalam wawancara sekitar 30 menit tersebut, dr. Tirta sekaligus mengingatkan masyarakat untuk saling menjaga keluarga masing-masing. Karena saat ini, Covid lebih banyak berasal dari klaster keluarga.
“Kalau mau terhindar dari penyakit ya jaga keluargamu, jangan dirimu, thok. ‘Saya santai kok’, iya santai, tapi ibumu, tua. Bapakmu, tua. Anakmu ringkih (lemah), istrimu bisa jadi ringkih. Kamunya kuat tapi kalau keluargamu meninggal? Kamu jadi makhluk individual, dong,” tegasnya.(tin/ipg)