Selama pandemi Covid-19, kebutuhan masyarakat terhadap masker meningkat tajam. Terutama masker yang digunakan sekali pakai. Alhasil, limbah medis meningkat tajam selama 2020.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020 sampai dengan awal Februari 2021 telah terdapat 6.417,95 ton timbulan limbah medis. Untuk itu, Satgas Covid-19 mengimbau masyarakat untuk melakukan disinfeksi terhadap masker sekali pakai dan dibuang ke tempat sampah khusus, karena terdapat potensi infeksius yang dapat menularkan penyakit ke orang lain.
Untuk itu, perlu ada pemisahan tempat pembuangan untuk limbah medis dengan limbah domestik. Namun, karena selama ini lahan yang tersedia terbatas, tempat pembuangan untuk domestik dan medis sering kali masih dijadikan satu.
Melihat banyaknya limbah medis, terutama limbah masker yang melonjak selama pandemi, Enri Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan saran terkait penanganan sampah masker:
Pertama, sampah masker sebaiknya digolongkan sebagai sampah medis-infeksius, dan ditangani sebagaimana layaknya limbah medis. Kedua, petugas pengumpul sampah harus dipastikan dilengkapi dengan APD khususnya masker dan sarung tangan yang setiap hari harus dicuci atau diganti yang baru. Tidak lupa mengenakan sepatu pelindung.
Ketiga, kumpulkan sampah masker dari rumah-rumah dan masukkan dalam wadah tersendiri. Jangan membuka kantong sampah masker tersebut, apalagi menyentuh sampah masker di dalamnya.
Keempat, angkut wadah tersebut ke lokasi TPS atau TPA, musnahkan dengan insinerasi atau autoclave. Kantong plastik yang berisi sampah-sampah masker tersebut jangan dibuka, tetapi masukkan seluruhnya ke dalam insinerator atau autoclave.
Kelima, bila tidak tersedia fasilitas pemusnah, simpan wadah penyimpanan sampah-sampah masker tersebut, lalu isolasi di tempat yang aman paling tidak selama 6 hari.
Terakhir, tidak dianjurkan memilah sampah masker yang bercampur dengan sampah lain. Sebaiknya sampah tercampur tersebut diisolasi sebagaimana disebut di atas.
Kebiasaan memilah sampah sebenarnya sudah disosialisasikan sejak lama. Namun, secara umum masih banyak masyarakat yang kurang memerdulikan hal itu. Meski di banyak ruang publik telah disediakan tempat sampah khusus, namun sebetulnya tidak ada perbedaan isi sampah di dalam tempat sampah hijau (organik), kuning (bisa didaur ulang), dan merah (non hijau dan kuning). Saat memilah sampah bukan menjadi kebiasaan dari masyarakat, maka mengelola limbah medis tentu menjadi kesulitan sendiri.
Apalagi, sebelumnya limbah medis hanya berada di wilayah tempat-tempat tertentu, seperti rumah sakit dan unit layanan kesehatan. Maka sudah saatnya kita belajar mengelola sampah dan memanfaatkannya.
Beberapa negara berikut, bisa dikatakan negara yang sukses dalam pengelolaan sampah.
Penyortiran Sampah Secara Ketat di Jepang
Jepang merupakan negara yang paling berhasil dalam mengelola sampah di Asia dengan sistem penyortiran. Jangan salah, sistem penyortiran sampah di Jepang sangat rumit. Saking rumitnya, setiap warga Jepang dibekali dengan buklet setebal 27 halaman. Dikutip CNN, buklet setebal itu berisi istruksi detail untuk 518 jenis barang, agar mampu menyortir sampahnya sendiri.
Lipstik, misalnya, masuk ke kategori sampah yang akan dibakar; tetapi tabung lipstik, “setelah isinya terpakai semua,” dikategorikan sebagai “logam ringan” atau plastik. Sementara untuk cerek, kategorinya mesti diukur berdasarkan panjangnya. Di bawah 30 sentimeter dianggap logam ringan, namun lebih dari itu menjadi sampah besar.
Di Jepang, desakan untuk menyortir dan mendaur ulang bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang berakhir dibakar. Di negara berlahan langka itu hampir 80 persen sampah dibakar, sama banyak dengan yang ditimbun di Amerika Serikat.
Sistem pengolahan sampah di negeri Sakura itu dilakukan secara hierarkis, dari tingkat distrik hingga provinsi. Alhasil, setiap kota, kecamatan, dan distrik bisa memiliki sistem yang berbeda sama sekali.
Tidak sedikit warga Jepang yang bingung sendiri dengan rumitnya pengolahan sampah di masing-masing wilayah. Meski rumit, setidaknya Jepang punya tujuan jelas untuk dicapai aturan ini. Desa Kamikatsu di barat daya Jepang bahkan disebut-sebut sebagai desa “nol sampah” berkat sistem pengolahannya yang super ketat.
Di Swedia, Sampah Jadi Sumber Energi
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Dasar pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi.
Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan.
Sehingga, Pemerintah Swedia membuat kebijakan seperti: Pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 persen pada tahun 2015. Sampah yang dapat dibakar (combustible waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002. Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008 pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan. Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.
Teknologi Pembakaran Modern dan Daur Ulang di Jerman
Komisi Eropa telah membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan bagi negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Di abad ke-21 teknologi pembakaran sampah yang modern mulai diterapkan. Teknologi tersebut memungkinkan pembakaran tidak menimbulkan efek sampingan yang merugikan kesehatan.
Agar tujuan tercapai, sebelum dibakar sampah harus dipilah-pilah, bahkan sejak dari rumah, hanya yang tidak membahayakan kesehatan yang boleh dibakar. Sampah yang memproduksi gas beracun ketika dibakar harus diamankan dan tidak boleh dibakar.
Yang lebih menggembirakan, selain bisa memusnahkan sampah, ternyata pembakaran tersebut juga berfungsi menjadi pembangkit listrik.
Di Jerman terdapat perusahaan yang menangani kemasan bekas (plastik, kertas, botol, metal dsb) di seluruh negeri, yaitu DSD/AG (Dual System Germany Co). DSD dibiayai oleh perusahaan-perusahaan yang produknya menggunakan kemasan. DSD bertanggung jawab untuk memungut, memilah dan mendaur ulang kemasan bekas.
Berbeda dengan kondisi Jerman 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak terkontrol, tapi kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan Akhir). 10-30 persen dari sampah awal berupa ‘slag’ yang kemudian dibakar di insinerator dan setelah itu ionnya dikonversikan, dan dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan.
Cerita menarik proses daur ulang ini datangnya dari Passau Hellersberg adalah sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos dan biogas ini memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik pertahun selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi, gas yang tercipta digunakan untuk pasokan listrik bagi 2.000 – 3.000 rumah.
Sejak 1972 pemerintah Jerman melarang sistem ‘sanitary landfill’ karena terbukti selalu merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah merupakan campuran segala macam barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi campurannya seringkali tidak pernah bisa diduga akibatnya. Pada beberapa TPA atau instalasi daur ulang selalu terdapat pemeriksaan dan pemilahan secara manual. Hal ini untuk menghindari bahan berbahaya tercampur dalam proses, seperti misalnya baterai dan kaleng bekas oli yang dapat mencemari air tanah. Sampah berbahaya ini harus dibuang dan dimusnahkan dengan cara khusus.
Synergy Solusi sebagai perusahaan pelatihan dan konsultasi siap membantu perusahaan dan masyarakat untuk mengurangi sampah di tempat kerja maupun lingkungan sekitar melalui program interactive live distance learning.
Sistem Pencegahan Sampah di Estonia, Slovenia, dan Belgia
Estonia, Slovenia, dan Belgia menjadi negara terbaik perihal pencegahan sampah dan daur ulang di Eropa menurut statistik dari Eurostat tahun 2014 lalu.
Ketiga negara itu, selain tidak memiliki volume sampah yang besar, juga turut mengimbangi dengan langkah daur ulang dan kompos yang cukup bagi jumlah sampahnya. Alhasil, warga tiga negara tersebut menghasilkan sampah paling sedikit di seluruh Eropa.
Estonia sendiri per harinya hanya menghasilkan setengah kilogram sampah per kepala. Dari total 279 kilogram limbah per tahun, 40 persennya didaur ulang. Di sisi lain, mesti hanya membuang 324 kilogram, Slovakia hanya mendaur ulang sekitar 13 persennya.
Data ini diterbitkan setiap tahun dan menunjukkan berapa banyak sampah yang dihasilkan warga Eropa, serta bagaimana sampah itu diolah. Rata-rata warga Eropa menghasilkan 492 kilogram per orang, mendaur ulang 42 persen, dan membuang atau membakar 58 persennya.(tin/dfn)
Sumber: Berbagai