Pada 2022 nanti Pemerintah berencana menghapus sistem kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dalam BPJS Kesehatan dan menggantinya dengan satu kelas yang sama, yakni kelas standar.
Namun sebelum kelas BPJS Kesehatan itu dihapus, pemerintah akan melakukan transisi kelas rawat inap (KRI) JKN yang dibagi dalam dua kelas standar. Kelas standar A adalah kelas yang diperuntukkan bagi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN). Sementara itu, kelas standar B diperuntukkan bagi peserta Non-PBI JKN.
Sebelumnya, Radio Suara Surabaya melakukan polling pendengar soal setuju atau tidak setuju tentang kebijakan tersebut. Hasilnya, sebesar 60 persen pendengar tidak setuju. Pendengar lainnya setuju dengan harapan, pelayanan menjadi sama tanpa ada diskriminasi.
Bagi mereka yang tidak setuju, mereka beralasan selain karena kemampuan setiap orang yang berbeda, penyamaratakan kelas ditakutkan hanya akan berimbas pada penurunan pelayanan.
“Saya tidak setuju, karena nggak bisa disamaratakan. Kemampuan orang kan beda-beda,” kata Kusno (60).
“Saya tidak setuju, itu karena pemerintah masih abu-abu bikin aturan. Kan harus jelas skema rumah sakitnya nanti bagaimana. Obat-obatnya seperti apa,” kata Farid (49).
“Kami kurang setuju. Dulu bagi mereka yang PNS punya Askes. Namun setelah adanya BPJS, pelayanannya menurun. Malah sekarang akan disamakan dengan lainnya. Berarti menurun lagi,” kata Retno Untari.
Namun ada juga pendengar yang setuju dengan kebijakan ini.
“Setuju. Setahu saya, kelas perawatan di BPJS tidak berpengaruh pada pelayanan di Faskes. Bagi yang merasa mampu, silahkan mencari asuransi kesehatan tambahan untuk mengcover selisih biaya yang timbul akibat kenaikan kelas atas permintaan sendiri,” kata Ricky Pratama Shandy (33).
“Sangat setuju untuk penghapusan kelas BPJS, karena berkeadilan bagi rakyat kecil,” kata Samsul (44).
“Saya setuju dihapus, agar tidak ada penilaian pasien berbeda-beda. Intinya pelayanan harus disamakan saja,” kata Johni (49).
Gitadi Tegas Supramudyo Pakar Administrasi Publik Universitas Airlangga (Unair) dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Kamis (30/12/2021) pagi mengingatkan, agar pemerintah memberikan parameter yang jelas terlebih dahulu terkait kebijakan tersebut.
Apalagi, menurutnya, kebijakan ini terkesan terburu-buru tanpa memberikan grand design dan skema pelayanan untuk masyarakat soal sistem kelas standar itu.
“Kalau standarnya tanpa kelas, maka yang terbayang adalah kenaikan. Mestinya dijelaskan dulu grand design-nya. Misal, tidak ada kenaikan harga tapi peningkatan layanan. Atau declare, bahwa layanan semua seperti kelas 2 atau semacamnya,” kata Gitadi.
Apalagi, sistem penyamaratakan kelas pastinya akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat yang realitanya, terdiri dari strata sosial.
“Kalau dibuat semua sama, berarti mengingkari realitas sosial bahwa di masyarakat faktanya ada strata-strata. Mungkin bagi kelas menengah tetap memilih kelas 1 kalau ada, tapi kalau kelas 3? Pasti ada perbedaan harga,” lanjutnya.
Gitadi menambahkan, public distrust masyarakat Indonesia ke pemerintah masih tinggi. Sehingga ketika kebijakan penghapusan kelas di BPJS Kesehatan ini dimunculkan, cukup dipahami jika yang muncul di masyarakat adalah kekhawatiran dan ketakutan.
Untuk itu, pemerintah harus memberikan data penguat atau evidence base yang mendasari mengapa kebijakan itu diterapkan.
“Menurut saya, kembali lagi, kalau mau distandarkan semua beranikan men-declare parameternya. Kalau gini, polling-polling di mana pun banyak yang tidak setuju,” kata Gitadi.
Sebelumnya, penghapusan kelas dan penerapan kelas standar bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan equitas di program JKN. Penghapusan kategori kelas itu sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) Pasal 23 (4) yang mengatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka diberikan “kelas standar”. (tin/rst)