Jumat, 22 November 2024

Pengamat Sebut Tawaran Kapolri kepada Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK Tidak Logis

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
sigit-kapolri Jenderal Listyo Sigit Kapolri. Foto: Istimewa

Beberapa waktu yang lalu, Jenderal Listyo Sigit Kapolri menawari 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di kepolisian. Ia juga menyebut, tawaran tersebut sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari Joko Widodo Presiden.

Hal ini menjadi perhatian Indria Wahyuni Dosen sekaligus Pengamat Hukum Administrasi Universitas Airlangga (Unair) tentang etika hukum terkait polemik ini. Apalagi mengingat kedua instansi, baik KPK dan Polri, sama-sama institusi penegak hukum.

Indria mengatakan, tawaran Kapolri tersebut tidak logis. Itu dikarenakan sedari awal, pengadaan tes ASN diperuntukkan untuk jabatan di KPK, bukan Polri. Terlebih lagi, mereka merupakan pegawai yang tidak lolos tes TWK. Sehingga, ia mempertanyakan bagaimana bisa calon pegawai yang gagal masuk di satu institusi diperbolehkan masuk di institusi yang lain.

“Kalau sudah dinyatakan fail (gagal) dalam suatu institusi dengan standar institusi itu, sedangkan ada institusi lain yang tupoksinya penegak hukum juga lalu memasukkan yang bersangkutan ke situ. Maka logikanya kalau sudah fail ke suatu tempat, fail juga di tempat lain. Ya, tho?” kata Indria kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (1/10/2021).

Indria kembali menegaskan, bahwa polemik puluhan pegawai KPK yang tidak lolos TWK tersebut tidak bisa disimplifikasi hanya soal masalah kepegawaian. Karena jika secara kemampuan dan pengalaman di KPK selama bertahun-tahun, Indria meyakini mereka mampu mendapatkan pekerjaan yang layak di tempat lain.

Justru yang harus menjadi perhatian oleh para pembuat kebijakan, lanjutnya, adalah masalah akuntabilitas atau pertanggungjawaban serta transparansi terkait hasil TWK para pegawai KPK yang tidak lolos.

“Ini bukan masalah kepegawaian, tapi masalah akuntabilitas keputusan pejabat publik. Karena apabila satu pejabat publik dibiarkan memberi keputusan tidak berdasarkan akuntabilitas dari prosedur, maka yang terjadi preseden. Bisa jadi, itu terjadi di tempat-tempat lain,” jelas Indria.

Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak terbuka tentang hasil tes TWK dan alasan detail mengapa puluhan pegawai KPK tersebut tidak lolos.

“Ini yang mengakibatkan keputusan Pak Kapolri walaupun baik dan harus diapresiasi, tapi agak sulit untuk diterima secara logis. Kalau itu dipecat di satu tempat, berarti tidak memenuhi persyaratan prinsip-prinsip profesi. Tapi kok malah diterima di institusi yang lain?” tanyanya.

Indria juga menyoroti tes TWK yang menjadi salah satu tahapan yang harus dilalui pegawai KPK untuk menjadi ASN, tidak secara tertulis dijelaskan di UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal 1 ayat 6, berbunyi: “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.”

Serta pada pasal 24 ayat 3, berbunyi: “Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Indria, pasal tersebut hanya membahas soal pengangkatan pegawai KPK dan alih status menjadi ASN. Namun aturan tertulis lebih lanjut mengenai tes TWK tidak diatur dalam undang-undang.

“Ini kalimatnya, konteksnya, alih status. Memang TWK dicari dasarnya di undang-undang tidak ada. Memang banyak yang mengintepretasikan bahwa dilaksanakan berdasarkan perundang-undangan, kalau gitu refer (merujuk)-nya di UU ASN (UU Nomor 5 Tahun 2014). Di UU ASN di tententuan pasal-pasalnya tertulis hanya berdasakan keahlian profesionalitas,” paparnya.

Sebelumnya, kasus TWK di KPK ini telah menjadi sorotan banyak pihak, salah satunya Ombudsman. Ombudsman menemukam sejumlah pelanggaran malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK, salah satunya soal tanggal mundur (backdate) kontrak dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Ombudsman sendiri menyatakan pihaknya telah menyerahkan rekomendasi soal TWK pegawai KPK ke Joko Widodo Presiden pada 16 Septenmber lalu.

Menurut Indria, seharusnya rekomendasi yang diberikan Ombudsman menjadi pertimbangan pejabat publik untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Karena hal itu terkait dengan bagaimana akuntabilitas pemerintahan dapat berjalan.

“Rekom Ombudsman itu sifatnya rekomendasi, artinya secara hukum tidak ada sanksi. Namun di negara-negara demokrasi, saat Ombudsman bilang A, pasti dilakukan karena Ombudsman itu melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan publik. Jadi jangan simplifikasi kalau ini cuma masalah pekerjaan,” jelas Indria.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs