Pada kuartal pertama tahun ini, Indonesia diperkirakan menerima belasan hingga puluhan juta vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca, melalui Fasilitas COVAX, sebuah skema distribusi vaksin global yang dipimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Aliansi Vaksin Dunia (GAVI).
Juru bicara vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmidzi menjelaskan bahwa GAVI telah mengonfirmasi indikasi alokasi vaksin gratis bagi Indonesia untuk tahap awal sekitar 13,7 juta hingga 23,1 juta dosis vaksin buatan AstraZeneca.
Vaksin itu akan dikirim melalui dua tahap yaitu pada kuartal I 2021 sebanyak 25-35 persen, dan kuartal II sebanyak 65-75 persen dari alokasi tahap awal.
Vaksin produksi perusahaan farmasi asal Inggris ini bisa digunakan untuk memvaksin penduduk usia 60 tahun ke atas, yang merupakan kelompok dengan angka kematian tertinggi akibat Covid-19.
“Ini merupakan keberhasilan diplomasi kita, melalui COVAX kita mendapatkan akses vaksin gratis dan dalam waktu yang cepat tentunya akan melengkapi jenis vaksin yang sudah ada saat ini,” ujar dr. Siti saat menyampaikan keterangan pers, 31 Januari lalu seperti yang dilansir Antara.
Pemerintah Indonesia sebelumnya sudah menandatangani formulir yang disyaratkan oleh GAVI dan COVAX guna melengkapi konfirmasi keikutsertaan dalam pengadaan vaksin Covid-19 secara gratis.
Perkiraan vaksin sebanyak belasan hingga puluhan dosis itu merupakan tahap awal yang akan dikirim, dari potensi Indonesia mendapatkan hingga maksimal 108 juta dosis vaksin atau mencakup 20 persen dari total populasi, dari skema internasional tersebut.
Vaksin dari GAVI tersebut akan melengkapi kebutuhan program vaksinasi Covid-19 bagi sekitar 182 juta penduduk, atau 70 persen dari total populasi Indonesia, untuk mencapai kekebalan kelompok.
Komitmen penyediaan vaksin melalui Fasilitas COVAX merupakan salah satu upaya Indonesia untuk mencukupi kebutuhan vaksin di dalam negeri, guna menangani pandemi Covid-19.
Upaya pengadaan vaksin melalui kerja sama global ini terus dimajukan oleh Indonesia, terutama oleh Retno Marsudi Menteri Luar Negeri, untuk memastikan akses yang adil dan setara bagi seluruh negara untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Bahkan, dalam hal ini, Indonesia dipercaya untuk menjadi salah satu ketua bersama program COVAX AMG Engagement Group yang bertujuan mengelola distribusi vaksin bagi 92 negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan bantuan negara donor.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua bersama COVAX AMC, Indonesia menekankan tiga prioritas dalam pengadaan dan distribusi vaksin yaitu transparansi, kepastian, dan solidaritas.
Terkait transparansi, Menlu RI berkomitmen menjalankan proses yang inklusif dan transparan dalam kelompok tersebut.
Agar vaksin dapat siap dan didistribusikan secara tepat waktu, Retno menggarisbawahi pentingnya kepastian mengenai sejumlah hal penting yaitu jumlah vaksin yang tersedia, jenis vaksin yang akan diterima, jadwal pengiriman, serta isu penting lainnya.
Dan guna mendukung pengadaan dan distribusi vaksin secara multilateral ini, Retno menyuarakan perlunya solidaritas dan kerja sama internasional yang solid.
“Tanpa kepastian akses yang setara terhadap vaksin bagi semua negara, dunia tidak akan mampu sepenuhnya menanggulangi pandemi,” kata Retno, usai memimpin pertemuan COVAX AMC pada 28 Januari 2021.
Stop Nasionalisme Vaksin
Sebagai ketua bersama program pengadaan dan distribusi vaksin global, Indonesia ikut bertanggungjawab mewujudkan kesetaraan akses vaksin bagi semua negara melalui jalur multilateral.
Untuk itu, Indonesia meminta negara-negara menghentikan politisasi dan nasionalisme vaksin untuk bersama-sama memerangi pandemi Covid-19.
“Tolong hentikan politisasi vaksin, hentikan nasionalisme vaksin. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa vaksin adalah isu kemanusiaan, bukan isu politik,” tutur Retno dalam salah satu diskusi panel World Economic Forum (WEF), 29 Januari 2021.
Retno menyebut bahwa nasionalisme vaksin, yakni suatu kondisi ketika satu negara ingin mengamankan pasokan vaksin untuk kepentingan warganya sendiri, akan mengancam distribusi vaksin yang adil dan merata bagi seluruh negara di dunia.
“Akses yang adil dan merata terhadap vaksin untuk semua negara adalah isu penting. Hal ini tidak hanya penting bagi negara berkembang dan kurang berkembang, tetapi juga penting bagi negara maju dan dunia,” kata dia.
Kekhawatiran tentang meningkatnya nasionalisme vaksin juga disuarakan oleh Menlu Jepang Taro Kono, yang turut berbicara dalam diskusi WEF.
“Kami melihat nasionalisme vaksin muncul dan para pemimpin dapat mengubah pandangan ‘ke dalam’ (inward looking) untuk menyelesaikan masalah domestiknya,” kata dia.
Taro, yang bertugas menyediakan vaksin bagi 120 juta populasi Jepang khawatir tentang situasi saat ini, terlebih ketika Uni Eropa (EU) mengatakan akan menutup ekspor vaksin hingga seluruh negara Eropa memilikinya.
“Dapat dimengerti untuk mengutamakan warga negaranya sendiri, tetapi kita hidup di planet yang sama dan rantai pasokan bersifat global. Jika kita mengganggu rantai pasok dengan satu cara, itu dapat memicu pembalasan,” kata Taro mengingatkan.
Tedro Adhanom Ghebreyesus Direktur Jenderal WHO telah menyatakan penolakan terhadap nasionalisme vaksin, saat dia mengatakan bahwa “negara-negara miskin harus menonton dan menunggu” sementara negara-negara kaya melakukan vaksinasi.
Menyoroti kesenjangan yang semakin melebar antara si miskin dan si kaya, Tedros mengingatkan bahwa dunia menghadapi “bencana kegagalan moral” jika tidak bekerja sama bagi kesetaraan akses vaksin.
Sebagai contoh ketidaksetaraan, Tedros mengungkapkan bahwa lebih dari 39 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di 49 negara berpenghasilan tinggi, sedangkan hanya 25 dosis diberikan di satu negara miskin.
“Pada akhirnya tindakan ini hanya akan memperpanjang pandemi,” kata Tedros, memperingatkan, seperti dilaporkan Reuters.
Berdasarkan laporan Anadolu, vaksin Covid-19 mulai diberikan di 58 negara dengan total populasi 4 miliar 627 juta. Namun, meski hampir tiga bulan telah berlalu sejak vaksin pertama diberikan, vaksinasi secara luas belum dimulai di 136 negara dengan jumlah penduduk 3 miliar 212 juta jiwa, yang sebagian besar berada di belahan bumi selatan.
Tidak ada yang pernah divaksinasi, kecuali untuk uji klinis di 51 negara di Afrika, 45 negara di kawasan Asia-Pasifik, 26 negara di Amerika Tengah dan Selatan, serta 14 negara di Eropa.
Di sisi lain, perselisihan antara EU dan produsen vaksin semakin memanas karena kegagalan untuk memenuhi jumlah vaksin yang dijanjikan. EU menuduh perusahaan yang melakukan pembatasan pengiriman di benua itu melanjutkan pengiriman di tempat lain.
Sementara perdebatan sedang berlangsung di Eropa, kecil harapan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah akan memvaksinasi bahkan sepertiga dari populasi mereka di masa mendatang.
Afrika, benua dengan populasi 1,35 miliar jiwa, adalah contoh ketimpangan paling mencolok dalam distribusi vaksin. Sebanyak 120.000 vaksin telah diberikan hanya di tiga negara di benua itu sejauh ini.(ant/tin)