Di tengah gelaran Piala Eropa 2020, negara-negara di Eropa yang berencana melonggarkan lockdown, dan Amerika Serikat yang tak lagi mewajibkan masker, Indonesia masih berjuang melawan lonjakan kasus Covid-19.
Hingga Kamis (8/7/2021), ada penambahan 38.391 kasus dan 852 orang yang wafat karena Covid-19 di Indonesia.
Per hari ini, sudah ada 63.760 penduduk Indonesia yang meninggal karena Covid-19. Sebuah kondisi yang berkebalikan jika memang benar bahwa virus corona tidak melihat ras, suku, bangsa dan negara untuk dapat menular.
Bimo Aryo Tejo PHD Peneliti Bioteknologi Universiti Putra Malaysia (UPM) mengatakan, alasan mengapa ada negara yang masih bergelut dengan Covid-19 dan yang tidak, dikarenakan tingkat vaksinasi yang berbeda-beda.
Kepada Radio Suara Surabaya dia mengatakan, mayoritas negara yang masih berjuang melawan Covid-19 adalah negara-negara yang tingkat vaksinasinya masih rendah atau dibawah 40 persen.
“Secara global, negara-negara yang bergelut dengan covid adalah negara yang cakupan vaksinasinya rendah dibawah 40 persen. Sedangkan negara yang vaksinasinya sudah 40 persen ke atas seperti Eropa, itu sudah membuka tempat wisatanya di musim panas tanpa karantina, asal sudah divaksin,” kata Bimo, Kamis (8/7/2021).
Penyebab mengapa ada negara yang tingkat vaksinasi rendah dan tinggi, menurut Bimo, karena dua faktor. Pertama karena faktor eksternal atau diluar kendali negara itu, dan faktor internal atau penyebab di bawah kendali negara.
Indonesia misalnya. Salah satu penyebab dari faktor eksternal atau di luar kendali pemerintah Indonesia adalah jumlah vaksin yang terbatas. Sehingga, Indonesia harus “bersaing” dengan negara-negara di dunia untuk memperebutkan vaksin.
Alhasil, negara-negara kaya sudah lebih dulu mendapatkan vaksin, bahkan menumpuk vaksin.
“Di Kanada saking banyaknya vaksin, bisa 5 kali injeksi per orang. Di Amerika, siapapun yang datang baik warga Amerika atau bukan, bisa divaksin secara gratis. Malah bisa memilih mau vaksin apa. Kita beruntung masih dapat vaksin dari China (Sinovac). Kita bukan pemenang dalam kompetisi mendapatkan vaksin,” katanya.
Sedangkan dari faktor internal yang menyebabkan tingkat vaksinasi rendah di Indonesia, salah satu contohnya adalah kendala-kendala seperti masyarakat yang tidak mau divaksin karena terpapar berita hoaks dan kurangnya sosialisasi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin aman.
“Lansia termasuk golongan yang berisiko tinggi jika terpapar Covid-19, tapi yang baru divaksin 23 persen. Lalu efek vaksin, yang pemerintah kurang menjelaskan kasus-kasus pascavaksinasi yang terjadi, sehingga masyarakat takut untuk divaksin,” tambahnya.
Namun Bimo optimistis, masyarakat Indonesia sebenarnya masih banyak yang antusias mengikuti vaksinasi. Dia mendasarkan pendapatnya itu pada hasil survei University of Maryland bersama Facebook.
Survei yang dilakukan sejak 10 Januari hingga 31 Maret 2021 lalu menunjukkan, sebanyak 80,8 persen orang Indonesia bersedia menerima vaksin Covid-19.
Untuk itu, Bimo optimistis vaksinasi di Indonesia bisa berjalan lebih cepat melihat antusiasme masyarakat dan kesadaran diri untuk divaksin tinggi.
“Yang menjadi concern, yang 80 persen itu jangan sampa mundur ke 20 persen karena berita tidak benar, kasus KIPI yang tidak dijelaskan oleh pemerintah sehingga membuat mereka takut,” katanya.(tin/den)