Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, ada sebanyak 62 kasus korupsi yang dilakukan aparat desa pada semester I 2021. Hal ini menjadikan pemerintahan desa sebagai lembaga paling korup pada semester pertama tahun ini.
ICW pun mendesak agar pemerintah pusat melakukan reformasi birokrasi di tataran desa sebagai bentuk pencegahan korupsi. Mengingat, angka itu masih enggan turun dari waktu ke waktu.
I Wayan Titip Sulaksana Praktisi Hukum Universitas Airlangga (Unair) melontarkan hal senada. Menurutnya, korupsi di lembaga desa berpotensi akan terus terjadi jika proses pemilihannya saja membutuhkan ‘biaya’ mahal.
“Pertama, sistemnya sudah turun temurun dari dulu. Kalau mau jadi calon kepala desa harus punya modal. Kalau di daerah saya minimal Rp1 miliar,” kata Wayan kepada Radio Suara Surabaya, Senin (13/9/2021).
Mahalnya biaya menjadi kepala desa, salah satunya karena besarnya biaya kampanye yang dibebankan kepada para calon kepala desa yang terlibat. Tak pelak, di dalam pemilihan kepala desa masih kerap dijumpai praktik politik uang.
“Biaya kampanye itu dibebankan kepada calon. Kalau calonnya 3 ya dibagi 3. Belum kampanye door to door, ‘salam tempel’. Terkadang, siapa yang ngasih paling besar ya potensi terpilihnya makin besar,” ungkapnya.
Wayan berpendapat, sistem pemilihan di desa perlu diubah dan para aparat birokrasi desa perlu diberi pendampingan. Dia menyadari, faktor latar belakang pendidikan para kepala desa turut andil dalam cara mereka mengelola pemerintahan maupun hal-hal mengenai pengelolaan keuangan dana desa.
Tidak hanya itu, kata Wayan, selama ini pemahaman penggunaan dana desa bagi aparat birokrasi di desa juga masih kurang. Bisa jadi, sosialisasi oleh pemerintah kabupaten yang belum maksimal, sehingga birokrat desa tidak paham tentang bagaimana mengelola dana desa yang ia terima.
Ketidakpahaman ini akhirnya membuka peluang korupsi ditambah minimnya pengawasan.
“Mereka harus dituntun. Dari kabupaten harus turun. Maklum, tingkat pendidikan memengaruhi (kepemimpinan) mereka. Selama ini kehadiran kabupaten sangat jarang, kalau sudah begini bagaimana coba?” Ujarnya
Dia berpendapat, seharusnya Anggaran Dana Desa (ADD) diberikan hanya bagi desa yang sudah siap mengelola dana itu. Dia juga menyoroti pentingnya pilot project desa yang sudah bisa mengelola dana itu lalu dijadikan contoh untuk desa-desa lainnya.
“Harus ada desa yang dijadikan pilot project ke depannya sebagai contoh desa-desa lainnya. Dana desa yang triliunan itu bisa jadi buah simalakama,” kata Wayan.
Seperti dikutip dari CNN Indonesia, ICW mencatat ada lima kasus penyalahgunaan anggaran penanganan Covid-19. Pertama, kasus dugaan korupsi pengadaan 15 ribu masker di provinsi Banten yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,6 miliar.
Kedua, kasus dugaan korupsi pengadaan alat darurat di Bandung Barat yang melibatkan AA Umbara, Bupati Bandung Barat. Lalu, kasus dugaan pemotongan dana bansos di desa Cipinang, Kabupaten Bogor.
Selanjuta, adanya dugaan pemotongan BLT di Desa Totok, Sumba Barat Daya, NTT. Juga kasus dugaan penyalahgunaan anggaran covid-19 di Kabupaten Mamberamo Raya yang melibatkan Doranus Dasinapa, Bupati Memberano Raya.(tin/den)