Dr. Satrijo Wiweko sebagai Pemerhati Lingkungan merespon salah satu fenomena banjir yang terjadi Kamis, 4 November 2021 di berbagai wilayah Jawa Timur diakibatkan karena pengalihan fungsi lahan.
“Batu merupakan daerah tangkapan air, di sana ada Sumber Brantas kawasan pegunungan. Kawasan tersebut sekarang banyak alih fungsi khususnya menjadi perkebunan seperti kentang, wortel, dan kubis. Bahkan ada yang sampai menjual tanah dari daerah pegunungan,” ujar Koko sapaan akrab Satrijo Wiweko saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Jumat (5/11/2021).
Padahal kata Koko, wilayah yang berada di ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut harus ditanami oleh pepohonan agar keseimbangan daerah ketinggian dan dampak perubahan iklim dapat terjaga.
“Jadi kalau musim kemarau, tanah di pegunungan itu retak karena terpapar panas yang berlebih. Begitu musim hujan tiba dengan intensitas tiga jam saja bisa dipastikan akan terjadi longsor dan banjir bandang,” katanya.
Pemerhati lingkungan itu menyatakan sebenarnya akar dari tanaman perkebunan tidak terlalu kuat dalam mengikat tanah yang ada di dataran tinggi.
“Kalau tumbuhan perkebunan seperti itu hanya 50 cm saja panjang akarnya, sedangkan kalau pepohonan bisa sampai puluhan meter pajangnya. Sehingga tanah bisa kuat ditahan oleh akar dan serapan airnya bisa muat banyak.”
Selain di wilayah Batu, banjir juga terjadi di Lamongan yang disebabkan alih fungsi lahan pertambangan batu.
“Di Lamongan alih fungsi lahan banyak pengambilan galian C. Pertambangan batu di sana mereka ambil sehingga membuat gerusan yang menyebabkan luapan ke Kali Lamong,” kata Satrio.
Lanjut Satrio, dia mengingatkan agar pengalihan fungsi lahan segera dihentikan demi menjaga hutan di Jawa Timur sesuai fungsinya.
Dia juga membeberkan jika hutan yang gundul di Jawa Timur sebenarnya sudah merata di berbagai wilayah, serta reboisasinya juga lamban.
Kendati demikian, Satrio menyoroti peran pemerintah dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan yang tetap menghutankan kembali wilayah yang ingin dibangun.
“Contoh konsepnya adalah Ekowisata yang ada di Magetan yang mendapat Eco Award. Di sana hutannya itu tetap lestari dan masyarakatnya juga mendapat lapangan pekerjaan dari wisata itu, sehingga ada dua keseimbangan antara menjaga alam dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Kata Satrio, pembangunan harus sejalan dengan memperhatikan lingkungan dan menjaga fungsi alam.
“Kalau kita perhatikan wilayah Batu, mereka mengejar pembangunan ekonomi seperti membangun Hotel dan Villa yang kurang mengindahkan ekologi,” pungkasnya. (wld/ipg)