Jumat, 22 November 2024

Pakar Hukum Unair Menilai Penghapusan Mural Bentuk Pembungkaman Kritik

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Herlambang P Wiratraman, pegiat HAM sekaligus Peneliti HRLS FH Universitas Airlangga Surabaya. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Sejak beberapa waktu yang lalu, jagat raya sosial media di Indonesia diramaikan oleh kasus penghapusan mural yang diduga menggambarkan sosok Joko Widodo Presiden dengan mata tertutup tanda merah bertulis “404: Not found” oleh aparat kepolisian. Mural yang ada pada dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten tersebut akhirnya dihapus sepihak oleh polisi dengan ditimpa tinta hitam.

Mural yang diduga menggambarkan sosok Joko Widodo Presiden dengan mata tertutup tanda merah bertulis “404: Not found” yang ada pada dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Foto: AFP/Fajrin Raharjo

Tak hanya itu, beragam mural lain yang muncul di berbagai daerah juga tak luput dari sasaran penghapusan, seperti “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Kecamatan Bangil, Pasuruan, “Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang, Banten. Polisi juga memburu para pembuat mural tersebut untuk menanyai motif mereka.

Herlambang P. Wiratman Pakar Hukum sekaligus Dosen Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) menilai, berbagai aksi penghapusan mural merupakan salah satu bentuk pembungkaman kritik yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Ia menjelaskan, pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convenant on Civil and Political Right dalam pengesahan Undang-undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam pasal 19 ayat 2 tertulis, bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan Informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

Dalam mengekspresikan pendapat tentu ada batasan. Namun menurutnya pembatasan tersebut harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, jangan sampai pembatasan tersebut malah menghilangkan hak berpendapat itu sendiri, seperti yang tertulis dalam pasal 19 ayat 3: ” Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 dalam Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum sepanjang diperlukan untuk: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.”

Herlambang memaparkan, pembatasan pendapat memiliki standar hukum yang rigid atau kaku. Pertama, pembatasan tersebut harus dinyatakan tegas oleh hukum. Kedua, pembatasan harus memiliki legitimate crime atau tujuan yang jelas mengapa ekspresi tersebut harus dibatasi. Ketiga, memenuhi unsur necessity proportionality, artinya pembatasan tidak menghilangkan hak untuk menyampaikan kritik.

Ia berpandangan, gambar Joko Widodo yang tertuang dalam mural tersebut sebagai bentuk ekspresi menyampaikan kritik kepada penyelanggara negara, bukan secara personal Joko Widodo. Sehingga, bentuk kritik tersebut seharusnya diperbolehkan dan mendapat perlindungan.

“Sebenarnya kritik itu terhadap Presiden, bukan personal Jokowi. Presiden sebagai penyelenggara pemerintah. Kritik publik terhadap pejabat diperbolehkan dijamin dan dilindungi,” tegasnya.

Apalagi, kritik sosial tentang kondisi pandemi seperti saat ini di lapangan juga dihapus. Menurut Herlambang hal itu merupakan tindakan berlebihan.

“Misal ekspresi kritik soal layanan kesehatan yang kolaps, muralnya dihapus, itu terlalu berlebihan. Toh, faktanya layanan kesehatan tidak bisa melayani masyarakat secara paripurna,” ujarnya.

Yang dilarang, lanjutnya, adalah kritik yang diluar aturan hukum seperti karya seni yang mengandung penghasutan, menebar kebencian hingga kekerasan seperti yang diatur dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berkekspresi yang diterbitkan oleh Komisi Nasional HAM.

Herlambang sekaligus mengingatkan, bahwa ekspresi seni bermacam-macam bentuknya. Seringkali, makna dan intepretasi atas seni tersebut berbeda bagi setiap orang.

“Setiap ekspresi seni bisa ditafsir macam-macam. Orang menampilkan ekspresi mocking (mengejek) misal menjadi monyet, muka dilapisi topeng, bisa ditafsir macam-macam karena ini seni,” lanjutnya.

Untuk itu, ekspresi seni harusnya bisa ditanggapi lebih bijak untuk bisa saling menghargai karya yang dihasilkan seniman.

“Saya tidak bisa bayangkan, mural kalau dibungkam lama-lama kita kering,” tutupnya.

Di sisi lain, pembungkaman mural juga menjadi perhatian bagi Rachmad Priyandoko Mural Artist Surabaya. Menurutnya, aparat kepolisian tidak perlu terlalu agresif para mural artist karena mau bagaimana pun, mural tetap lah medium seni untuk menyampaikan pesan, ekspresi dan berpendapat.

“Dalam hati nurani saya, jangan lah sampai dikejar-kejar karena ada yang lebih pantas dikejar, seperti koruptor. Mungkin dalam isi hati teman-teman, apresiasi terhadap mereka kurang didengar, dilihat. Jadi mau bagaimana lagi,” kata pria yang akrab disapa Cak Mad itu.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs