Satria Unggul Wicaksana S.H, M.H Dosen Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya mengatakan bahwa kampus menjadi tempat paling rawan nomor tiga atas kekerasan seksual sesuai survei Mendikbudristek pada 2019.
“Untuk survei dari Dirjendikti 2020, 77 persen dosen mengamini kekerasan seksual terjadi di kampusnya dan 63 persen korban tidak berani melapor karena takut. Ini yang kemudian menjadi urgensi dari Permendikbud No.30 Tahun 2021,” kata Satria saat mengudara bersama Radio Suara Surabaya, Selasa (16/11/2021).
Padahal dampak dari kekerasan seksual terhadap korban bisa mengalami traumatik seperti, fisik, psikis, mengalami ancaman, hingga menyebabkan upaya bunuh diri dari korban.
“Salah satu yang menjadi faktor korban takut melapor adalah, posisi pelaku yang memiliki jabatan di perguruan tinggi dan memiliki koneksi politik sehingga pelaporan tersebut tidak dilakukan,” ujar Satrio.
Satria juga menyebut bahwa perguruan tinggi adalah ujung tombak dalam melaksanakan Permendikbud No.30 Tahun 2021, karena dalam peraturan tersebut kampus bertanggung jawab untuk melindungi, pendampingan, pemulihan korban dan sanksi terhadap pelaku.
“Yang diharapkan adalah pelaku bisa hilang impunitasnya. Sehingga tidak terjadi praktik kebal hukum apabila pelaku memiliki jabatan,” tuturnya.
Kendati demikian, Satria juga mengakui jika Permendikbud No.30 Tahun 2021 masih banyak menuai kritik.
“Salah satunya banyak yang mempertanyakan kenapa dalam Permendikbud itu sangat rigid? Ya karena tidak ada UU payungnya, bahkan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) sampai sekarang belum disahkan,” katanya.
Lanjut Satrio, “tidak dilibatkannya gelombang besar seperti organisasi masyarakat, petinggi kampus, dan MUI dalam jejak pendapat dan pengambilan keputusan juga menjadi kelemahan Permendikbud No.30 Tahun 2021.”
Sehingga terjadi berbagai penafsiran dari berbagai pihak karena tidak dilibatkan secara langsung dalam perumusannya.
Satria juga menjelaskan mengenai perkara yang ramai jadi perbincangan publik pada pasal 5 ayat 2 Permendikbud No.30 Tahun 2021 dengan adanya redaksi “tanpa persetujuan korban” yang seakan melegalkan kegiatan seksual.
“Kalau dilihat dari kontruksi hukumnya dengan pendekatan antropologi dan politik hukum sebenarnya Kemdikbud Ristek maksudnya adalah memberikan otonomi kepada korban, apakah ingin meneruskan perkaranya ataupun tidak, sehingga korban secara otonom dapat melakukan upaya dan kampus tidak boleh berdiam diri bahwa ada kekerasan seksual,” ungkapnya.
Meski demikian kata Satria Permendikbud No.30 Tahun 2021 ini juga sebagai alat kekosongan hukum yang belum terakomodasi dari UU kekerasan seksual yang sebelumnya sudah ada.
“Jadi saya petakan ada beberapa jenis UU yang mengakomodasi kekerasan seksual, seperti lex specialis khusus dan UU anak yang mengatur korban di bawah 18 tahun, UU perdagangan orang, dan KUHP yang masih lemah yaitu yang mengatur pemerkosaan dan perzinaan, yang syaratnya harus ada pengaduan atau delik aduan,” ujarnya.
Permendikbud No.30 Tahun 2021 kata Satrio akan mengakomodasi korban yang tidak memenuhi syarat untuk mendapat perlindungan dari UU sebelumnya.
“Seperti korban yang berusia diatas 18 tahun, korban yang belum menikah dan korban yang tidak terjerat perdagangan orang,” ujar Satrio.
Dari berbagai penjelasan, Satrio mengungkap bahwa yang terpenting dari produk hukum di ranah perguruan tinggi adalah untuk membongkar predator kekerasan seksual agar tidak kebal hukum dan memberikan hal serta perlindungan terhadap korban. (wld/ipg)