Merespons peristiwa puluhan ekor ikan paus yang terdampar di Kabupaten Bangkalan, Kamis (18/2/2021) lalu, Dr Dewi Hidayati Kepala Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memberi sejumlah saran untuk masyarakat.
Dia mengamati, berkaitan peristiwa paus pilot terdampar itu masyarakat setempat dengan kearifan lokalnya sudah berupaya menyelamatkan hewan itu. Dia berharap, sejumlah saran yang dia sampaikan bisa mengoptimalkan penanganan terhadap paus yang terdampar di kemudian hari.
Dewi menyarankan, masyarakat lokal bersama institusi terkait di wilayah pesisir pantai bersinergi membuat semacam protokol langkah mitigasi penanganan paus terdampar. Sebab, menurutnya, peristiwa terdamparnya sekawanan mamalia itu tidak hanya sekali terjadi di Indonesia.
“Dengan respons yang tanggap dari masyarakat, hal itu dapat membantu paus kembali melakukan perjalanan migrasinya. Sebab, besarnya tubuh paus itulah yang menyebabkan dia tak dapat bermanuver kembali ke laut dan membutuhkan bantuan manusia,” ujarnya, Minggu (21/2/2021).
1. Membangun pos penyelamatan paus di bibir pantai
Dewi bilang, dengan adanya peristiwa terdamparnya 52 ekor kawanan paus pilot di Bangkalan, masyarakat di pesisir bisa memulai langkah-langkah penanganan paus. Salah satunya dengan lain memprediksi kapan dan di mana peristiwa paus biasa terdampar.
“Bisa digalakkan untuk membangun pos paus di sekitar pantai. Pos ini selain berfungsi sebagai pemantau kondisi pantai, juga bisa sebagai media edukasi paus kepada masyarakat setempat,” ujarnya.
2. Tanggap ketika mendapati paus terdampar
Ketika masyarakat melihat paus atau kawanan paus terdampar di pantai, Dewi menganjurkan agar mereka tanggap atas beberapa hal. Salah satu penyebab paus mati saat terdampar adalah kehilangan kadar air di tubuhnya secara drastis. Karena itu, dia anjurkan masyarakat menjaga agar paus yang terdampar tetap dalam keadaan basah.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan menyiramkan dan membasahi tubuh paus dengan air laut. Atau bila hal ini sulit dilakukan, masyarakat bisa dengan segera melepas paus yang terdampar itu agar kembali ke laut.
3. Mengakhiri penderitaan paus
Bila masyarakat tetap kesulitan membahasi tubuh paus atau melepas mereka kembali ke laut, Dewi menyarankan agar masyarakat mengambil langkah untuk mengurangi penderitaan paus itu seperti yang disarankan sejumlah referensi ilmiah. Eutanasia (mengakhiri hidup paus) menjadi pilihannya.
Dewi menyebutkan, sejumlah refereni ilmiah menyarankan tindakan eutanasi itu. Salah satu di antaranya adalah buku National Guidance on the Management of Whale and Dolphin Incidents in Australian Waters.
4. Mengutamakan membuang bangkai paus ke laut
Soal penanganan bangkai paus, Dr Dewi yang merupakan Dosen anggota Laboratorium Zoologi dan Rekayasa Hewan Biologi ITS menyarankan agar masyarakat dan instansi terkait mengutamakan membuang bangkai paus ke laut. Seperti diketahui, sejumlah pihak memutuskan untuk mengubur puluhan bangkai paus itu di bibir pantai tempat mereka terdampar.
Menurutnya, semakin banyak bangkai hewan laut termasuk paus yang membusuk di dalam laut akan menjadi sumber makanan predator yang berkontribusi pada rantai makanan laut. Atau bila diperlukan, bangkai itu dikelola agar menjadi bagian dari edukasi masyarakat.
“Rangka (tulang belulang) paus yang mati bisa dijadikan bahan pengajaran untuk mengembangkan studi tentang mamalia laut ini,” ujar Dewi.
5. Prediksi penyebab terdamparnya paus
Terdamparnya puluhan Paus Pilot di Bangkalan masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Terutama tentang penyebab peristiwa itu. Merespons ini, Dewi berupaya menyampaikan prediksi penyebab peristiwa itu berdasarkan referensi ilmiah.
Menurutnya, sejumlah jurnal menyebutkan, pada periode tertentu ikan paus akan melakukan migrasi secara berkelompok. Umumnya, paus yang bermigrasi melalui perairan Indonesia adalah jenis paus pilot atau short-finned pilot whale.
Puluhan ekor paus yang terdampar di Bangkalan dia perkirakan berasal dari perairan Australia. Dia mengutip sebuah jurnal dari journals.org tentang aktivitas migrasi paus. Migrasi paus akan mencapai puncaknya pada Februari dan Mei.
“Pada penelitian itu dan juga beberapa laporan lain disebutkan, paus umumnya akan melewati jalur yang sama untuk bermigrasi,” ujarnya.
Dewi juga mengutip artikel ilmiah berjudul In-depth Whale Navigation: Navigating the Long Way Home karya Robin Marks. Artikel itu menyebutkan, paus adalah hewan yang mampu mengingat jalur magnet yang dia lewati setiap tahunnya saat bermigrasi. Kemungkinan besar, paus yang terdampar karena mendapati daerah yang jalurnya berbelok.
“Kemungkinan itu termasuk di beberapa perairan pantai Pulau Madura dan kawasan Selat Madura,” ujar Dewi dalam keterangan tertulis.
Dewi pun memprediksi, perubahan navigasi paus itu dipengaruhi sejumlah faktor. Di antaranya cuaca ekstrem, gelombang sinar matahari, perubahan garis pantai, dalam kondisi sakit, atau bisa jadi karena aktivitas kilang minyak yang ada di sekitar perairan.
“Karena ada juga referensi yang mengatakan bahwa rig (bangunan kilang minyak lepas pantai, red) dijadikan patokan magnetik bagi paus,” imbuhnya.
Menurutnya, cukup banyak teori terkait anomali paus terdampar di pantai ini. Memang sudah sangat banyak kasus serupa yang terjadi namun penyebabnya belum diketahui secara pasti.(den)