Lestari Moerdijat Wakil Ketua MPR mengakui masih banyak masalah terkait pelayanan kesehatan di Indonesia. Di antaranya, tidak meratanya penyebaran dokter yang ada.
Menurut Lestari, dokter yang ada di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa tidak berimbang.
“Harus kita akui memang jumlah dokter yang ada tidak memadai,” ujarnya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) secara luring dan daring dengan peserta lebih dari 114 otang, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/11/2021).
FGD yang digelar atas kerja sama MPR dengan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membahas Perubahan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Untuk menghadapi masalah itu, legislator yang akrab disapa Rerie itu mengajak kepada semua pihak terutama para dokter melakukan gerakan persiapan dan pembenahan agar jumlah dokter bisa tercukupi.
“Gerakan yang kita lakukan adalah bagaimana dokter yang ada tidak hanya memadai dari segi jumlah, namun kualitas mereka juga bisa diandalkan,” imbuhnya.
Politisi Partai Nasdem itu pun mengakui pendidikan kedokteran di Indonesia memang rumit. Tidak semua lembaga pendidikan, perguruan tinggi, mampu menyelenggarakan pendidikan kedokteran.
Karena, untuk bisa menyelenggarakan pendidikan kedokteran perlu kualifikasi-kualifikasi tertentu.
Masalah pendidikan dan kesehatan menurut Lestari Moerdijat merupakan hak asasi manusia. Dua hal itu merupakan tugas negara untuk memenuhinya.
“Negara harus bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan dan kesehatan ujarnya. Memenuhi masalah pendidikan dan kesehatan merupakan amanah bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Negara harus meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia,” paparnya.
Pada kesempatan itu, Lestari Moerdijat memuji langkah-langkah pemerintah mengendalikan pandemi Covid-19.
“Kami apresiasi kerja keras pemerintah yang mampu mengendalikan wabah seperti yang kita rasakan saat ini. Walau pun, bangsa ini banyak kehilangan tenaga kesehatan,” katanya.
Lebih lanjut, Rerie mendukung Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) sebagai revisi UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
“Kita harap undang-undang itu bisa menjadi solusi. Kekurangan dokter umum dan dokter spesialis akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Ini menjadi tugas kita semua,” tegasnya.
Willy Aditya Ketua Panja RUU Dikdok mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan momentum untuk melakukan perubahan undang-undang yang ada.
“Kita jadikan sebagai momentum untuk membangun sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dan kesehatan,” ujar politisi Partai Nasedem itu.
Dia menambahkan, kalau ingin menciptakan manusia yang berkualitas, maka pendidikan dan kesehatan merupakan tulang punggung untuk bisa menciptakan itu.
Di era perdagangan bebas yang memungkinkan keterbukaan dengan negara luar, bisa saja dokter-dokter dan rumah sakit asing akan masuk ke Indonesia.
Supaya tidak menambah beban bagi dunia kedokteran di Indonesia maka undang-udang terkait harus dibuat dengan baik.
“RUU Dikdok harus bisa menjawab tantangan itu,” tuturnya.
Willy bercerit, di luar negeri rumah sakit berlomba-lomba membuat rumah sakit pendidikan. Hal itu yang menurutnya perlu jadi masukan buat pemerintah.
“Memang pendidikan kedokteran di Indonesia mahal, lama, dan banyak beban lainnya. Untuk itulah kami ingin agar rumah sakit-rumah sakit yang ada dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan. Birokrasi yang ada harus kita terabas,” ucapnya.
Dalam forum itu, Willy juga mengakui jumlah dokter banyak berada di Jawa. Untuk mengatasi kesenjangan itu, maka perlu percepatan distribusi dokter.(rid/tin)