Sabtu, 23 November 2024

MUI Jatim Sebut Masih Ada Celah Pemahaman Berbeda Soal Aturan Pelarangan Salat Berjemaah

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Salat Iduladha di Masjid Nasional Al-Akbar, Kota Surabaya pada Jumat (31/7/2020) dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat salah satunya physical distancing (jaga jarak). Foto: Dokumensuarasurabaya.net

Melalui Surat Edaran Nomor 451/ 14901 /012.1/2021, Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim meniadakan Salat Idul Adha 1442 Hijriah secara berjemaah di Jawa Timur. SE tertanggal 7 Juli 2021 yang ditujukan kepada bupati/wali kota se-Jawa Timur itu mengacu pada Inmendagri 15/2021 tentang PPKM Darurat di wilayah Jawa dan Bali. Aturan ini menyikapi lonjakan kasus Covid-19 di banyak daerah di Jawa Timur.

Prof. Ahmad Muzakki Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menegaskan, sebelum pemerintah menetapkan larangan salat ied, MUI Jatim sudah mensosialisasikan kepada masyarakat, bahwa salat di rumah saat pandemi tidak mengurangi kemuliaan dalam beribadah.

“Salat Idul Adha di rumah tidak mengurangi nilai kemuliaan, bahkan menjadi perilaku utama dengan pertimbangan untuk melindungi dan menjaga keselamatan jiwa kita sediri dan orang lain karena kita semua diterpa pandemi dengan lonjakan cukup dahsyat,” kata Muzakki kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (10/7/2021).

Namun ia tak memungkiri, bahwa di kalangan masyarakat masih muncul kontroversi mengenai aturan pelarangan salat berjemaah di tempat ibadah. Untuk itu, ia mendorong pemerintah daerah, untuk melakukan sosialisasi. Karena tidak semua masyarakat memahami faktor esensial dan kritikal apa saja yang diperbolehkan dan tidak, dan kaitannya dengan aktifitas ibadah.

Ia mengatakan, masyarakat masih kerap mempertanyakan alasan tempat ibadah ditutup, padahal menurut mereka tempat ibadah masuk dalam faktor esensial, yakni harusnya dibuka dengan pembatasan.

“Basis kognisi terhadap dua kata kunci itu yang jadi semangat peraturan terkiat PPKM Darurat yang masih menyisakan celah maksud kebijakan pemerintah dan pemahaman masyarakat terutama di level bawah,” ujar pria yang juga Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu.

Padahal, lanjut Muzakki, fungsi ibadah masih bisa dilakukan meski di rumah, dan itu berbeda dengan kebutuhan logistik yang tidak bisa digantikan.

“Kalau tempat ibadahnya ditutup, fungsi ibadahnya kan bisa digeser di rumah, bukan lalu kita berhenti ibadah. Kalau fungsi logistik itu tidak bisa digeser. Misal pasar ditutup, terus beli beras, sayur, makanan, kita beli ke mana?” tambahnya.

“Konsep ini yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk sosialisasi ke bawah karena masih ada celah pemahaman yang berbeda,” imbuh Muzakki.

Namun, MUI Jatim mendukung aturan untuk Salat Idul Adha di rumah, mengingat kasus Covid-19 di Jawa Timur mengalami jumlah kasus yang tak terkendali. Sehingga kebijakan untuk beribadah di rumah, tak lain untuk kemaslahatan bersama dan keselamatan semua orang.

Mengenai kegiatan penyembelihan hewan kurban, Muzakki memberika tiga poin penting pelaksanaannya di tengah pandemi Covid-19.

Pertama, mengantisipasi penumpukan orang yang terlibat dalam penyembelihan hewan kurban. Serta mengatur jumlah maksimal orang yang berada dalam satu waktu dan satu tempat yang melakukan penyembelihan.

Kedua, mengantisipasi kerumunan masyarakat diluar panitia penyembelihan. Untuk itu, pihaknya menyarankan agar penyembelihan hewan kurban bisa dilakukan pada tengah malam.

“Tahun kemarin ikhtiarnya penyembelihan tidak di pagi atau siang hari, namun per tengah malam. Orangnya terbatas dan tidak ada kerumunan. Habis subuh baru pendisribusian daging dilakukan,” paparnya.

Ketiga, yakni orang-orang yang terlibat proses penyembelihan dan panitia kurban harus dicek kesehatan seperti hasil swab negatif Covid-19 dan sudah divaksin. Bahkan jika perlu, yang menyembelih adalah mereka negatif Covid-19 sekaligus sudah mendapatkan vaksinasi lengkap (dosis pertama dan kedua).(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs