Selasa, 26 November 2024

Makna Gagal dan Bangkit Menurut Emil Elestianto Dardak

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
emil-elestianto-dardak Emil Dardak Wakil Gubernur Jatim saat menjadi narasumber talkshow Lazuardi di Radio Suara Surabaya, Kamis (20/5/2021) malam. Foto: Ilham suarasurabaya.net

Prestasi yang diperoleh Emil Elestianto Dardak di bidang akademik, profesional dan politik tidak perlu diragukan lagi. Di usia 22 tahun, cucu H. Mochamad Dardak, salah satu kyai Nahdlatul Ulama (NU) ini menyandang Doktor Ekonomi Pembangunan termuda di Jepang dari Ritsumeikan Asia Pacific University.

Lalu di usia 31 tahun, Emil sudah menjabat sebagai Bupati Trenggalek sekaligus bupati termuda di Indonesia. Hingga sekarang, tepat di usia 37 tahun, karir politiknya dapat dikatakan sukses setelah melenggang menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa Gubernir Jatim.

Beragam prestasi yang ia raih tentu tidak datang begitu saja. Bukan pula proses yang ia jalani sukses tanpa hambatan. Menurut Emil, apa yang ia peroleh adalah hasil dari kegagalan-kegagalan. Namun ia menekankan, yang terpenting bukan hasil akhirnya, tapi proses saat berani bangkit setelah gagal. Hal itu ia utarakan saat menjadi narasumber talkshow program Lazuardi “Dalam Kegagalan Ada Kesempatan” di Studio Radio Suara Surabaya, Gedung Suara Surabaya Centre pada Kamis (20/5/2021) malam.

Ia mengingat bagaimana secara akademik, dulu ia bukanlah siswa yang diunggulkan di sekolah. Dalam sebuah kompetisi sekolah, ia bahkan pernah diejek temannya karena mendapat juara harapan.

“Saya dari SD bukan primadona kelas. Saya ingat pernah bahagia banget saat mendapat juara harapan 2 atau 3. Terus ada yang ngetawain ‘haha juara harapan’. Maksudnya, saya dulu segitu-gitu aja. Karena kebanyakan main game, lulus pun NEM pas-pasan,” katanya.

Namun menurutnya, yang terpenting bukanlah hasil yang ia capai saat itu, tapi bagaimana terus meraih prestasi-prestasi baru dan merawat itu. Ia mengutip apa yang pernah dikatakan Michael Jackson, “Jika piala-pialamu yang dulu masih jadi kebanggaanmu, berarti sekarang kamu tidak melakukan apa-apa”. Ia menambahkan, dalam fase-fase kehidupan manusia harus memiliki sense of achievement untuk terus berkembang dan tidak terjebak pada kebanggaan masa lalu.

Yang terpenting menurut Emil adalah mentalitas untuk membangun semangat untuk bangkit setelah gagal. Semua orang siap untuk berhasil, tapi tidak semua orang bisa merespon kegagalan.

“Sayangnya, di sekolah itu yang dapat reward itu yang menang. Tapi lupa ketika di dunia nyata, yang dibutuhkan adalah orang yang berani mencoba, gagal dan berani bangkit. Daripada menerima keberhasilan, tapi belum mampu merespon kegagalan-kegagalan kecil,” tambahnya.

Ia kemudian menceritakan pengalamannya yang tak terlupakan soal pentingnya mental untuk bangkit.

Saat kecil, Emil menyebut suka sekali menonton sepakbola. Pada Mei 1999, ia menonton pertandingan final UEFA Champions League antara Manchester United (MU) melawan Bayern Munich. Saat itu, MU sudah kalah 1-0 dari Munich, bahkan saat pertandingan memasuki babak kedua, skor masih 1-0. Hingga kemudian saat perpanjangan waktu (injury time), MU dapat membalikkan keadaan dengan menambah dua gol sekaligus ke kandang Munich dan menjadi juara Liga Champions saat itu.

Peristiwa tersebut sangat berkesan baginya dan ia ingat hingga sekarang, tentang bagaimana mentalitas untuk bangkit sangat penting untuk dibentuk.

“Itu lah hidup, diibaratkan seperti itu. Kita harus punya kekuatan mental. Bayangkan jika MU saat itu langsung jatuh mentalnya saat kebobolan, kecil kemungkinan untuk bisa membalik keadaan,” ceritanya.

Sehingga sangat perlu bagi setiap individu untuk memahami manajemen kegagalan. Dalam manajemen kegagalan, seseorang didorong untuk dapat merespon kegagalan-kegagalan yang ia alami agar dapat terpacu untuk bangkit, bukan menyerah.

“Makanya tema Kebangkitan Nasional sangat relevan. Rakyat Indonesia harus punya jiwa bangkit dalam dirinya,” imbuh Emil.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Selasa, 26 November 2024
27o
Kurs