Tujuh Komunitas Lingkungan Poros Malang-Surabaya melakukan kegiatan brand audit untuk mengetahui merek personal care (perawatan tubuh seperti kosmetik, sikat gigi, sabun sampho, popok, pembalut wanita dan pasta gigi) household product (Perawatan rumah seperti pembersih lantai, pembersih piring dan pembunuh serangga) dan food packaging (pembungkus makanan minuman seperti botol plastik minuman, sachet kopi, susu, bumbu dan softdrink) yang banyak ditemukan di sungai dan pesisir, muara Sungai Brantas.
”Tujuan brand audit untuk mengetahui merk atau brand packaging yang banyak ditemukan menjadi sampah di perairan di Sungai Brantas dan pesisir timur Surabaya,” kata Alaika Rahmatullah, Mahasiswa Jurusan Biologi Uinma Malang.
Brand audit ini melibatkan tujuh Komunitas lingkungan di Malang, Surabaya dan Bangkalan, yaitu : Envigreen Society Malang, Komunitas Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UINMA) Malang, River Warrior Surabaya, NoWaste Surabaya, Komunitas Pecinta Lingkungan Mahasiswa Agrobisnis Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, Rotaract Surabaya Persada, Komunitas Lindungi Hutan Surabaya dan Teen Green.
Kegiatan brand audit di Sengguruh 12 September 2021 menemukan 10 brand multinasional dan brand nasional. Kesepuluh brand tersebut adalah PT Unilever, PT Wings, PT Indofood, P&G, PT Unicharm, PT Softex, PT Ajinomoto, PT Kao, PT Heins ABC dan PT Nabati.
Sampah di hulu sungai Brantas sebagian besar adalah plastik kresek tidak bermerek. “Tumpukan sampah plastik umumnya berasal dari hulu bendungan Sengguruh dari Kota Malang, Kota Kepanjen Kabupaten Malang dan Batu, air membawa beragam jenis sampah plastik menumpuk di Sengguruh,” ungkap Sofi Azilan.
Kegiatan brand audit di Wonorejo, pantai timur Surabaya yang merupakan hilir Sungai Brantas pada 19 September 2021 menemukan empat brand multinasional seperti Unilever, Danone, Ajinomoto dan Frisian Flag yang ditemukan banyak sampahnya di muara sungai dan nyantol di pohon mangrove Wonorejo.
Sofi Azilani, menjelaskan bahwa sampah plastik merupakan problem besar Indonesia karena setiap tahun dari 8 juta ton sampah plastik yang dihasilkan penduduk Indonesia hanya 3 juta yang terkelola sedangkan sisanya 5 juta ton terbuang ke alam.
”Sebagian besar sampah plastik yang kita hasilkan sebanyak 5 juta ton masih ada di bumi, sebagian di bakar, ditimbun dalam tanah dan sebagian besarnya sekitar 2,6 juta ton di buang ke Sungai dan berakhir ke lautan,” paparnya.
Sementara itu, Thara Bening Sandrina, koordinator River Warrior ini menjelaskan bahwa setiap produsen bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan.
“Negara melalui Undang-undang pengelolaan sampah nomer 18 tahun 2008 mengatur mekanisme EPR atau extended produsen responsibility, yang artinya produsen harus mau mengurus sampah dari bungkus-bungkus yang mereka hasilkan pasca produk digunakan, mereka bisa menyediakan tempat sampah khusus atau mengganti bungkus atau packaging yang bisa didaur ulang atau menghindari pemakaian sachet,” urai Thara Bening.
Ditambahkan, Aeshnina Azzahra, aktivis lingkungan yang pernah menulis surat kepada pemimpin dunia terkait sampah impor itu juga berencana mengirim surat protes kepada produsen multinasional dan nasional untuk bertanggung jawab atas sampah produknya yang mencemari sungai dan pantai.
Tuntutan lainnya adalah meminta pemerintah daerah yang memiliki sungai wajib menyediakan sarana pengolahan sampah berupa Tempat Pengolahan Sementara (TPS) berbasis 3R,(reduce, reuse dan recycling).(man/ipg)