Di tengah pandemi Covid-19 ini, para Dokter dan paramedis menjadi sorotan. Menangani pasien pandemi, mereka berjuang dengan APD, berjibaku dengan waktu, meninggalkan keluarga, dan kerja keras luar biasa mereka menggelitik Wina Bojonegoro CEO Padmedia Publishers, langkah apa yang bisa dilakukan sebagai gerakan dukungan kepada para Dokter dan paramedis itu.
“’Mari sejenak menepi, memberi ruang kepada para Dokter untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi diri dengan segala perang batin dan kondisi. Itulah tujuan kami,” gumam Wina Bojonegoro. Dan dari situlah kemudian Padmedia publishers membuka ruang kebebasan agar tulisan yang mengalir dari benak para Dokter menjadi semacam oase di tengah riuhnya hal-hal yang sudah mainstream tadi.
Pengumuman dilakukan pada 15 Juli 2020. Ternyata, dengan tenggat yang tidak terlalu lebar, hingga 9 September 2020, Padmedia menerima sekitar 60 naskah. Lantas, hanya dipilih 25 karya agar buku ini tak terlalu tebal, bisa dimasukkan ke dalam tas, dan bisa dibawa ke mana-mana. Pertimbangan selain keunikan kisah dan daya tarik cerita tentu adalah value apa yang dapat dipetik dan disimpan dalam kotak ingatan paling dalam.
Padmedia Publishers mempersembahkan Hidup Ini Indah Beib (HIIB) Keenam: Kisah-Kisah Inspiratif Dokter Indonesia: Cinta, Tawa, dan Luka. Pada launching di tengah pandemi disatukan dengan seminar Tips Menulis Populer, menghadirkan Doan Widhiandono, S.Sos, M.Ikom., serta bedah buku Hidup Ini Indah Beib (HIIB) Keenam: Kisah-Kisah Inspiratif Dokter Indonesia: Cinta, Tawa, dan Luka oleh Vika Wisnu, secara virtual.
Banyak sekali kisah menarik dan renungan dahsyat dari buku ini. Misal, pada tulisan dr. Willy Kumurur ada pelajaran berharga bahwa menjadi dokter adalah menyediakan telinga selebar-lebarnya bagi pasien karena itu lah healing sesungguhnya. Dari tulisan dr. Inge W. Benjamin ada pelajaran bahwa nafsu itu adalah api yang membakar bukan saja hidup kita, melainkan juga hidup anak-anak masa depan. Dari drg. Aulia Rizki Nurdiana, muncul pelajaran bahwa dokter juga manusia, bisa sakit, bisa stres, dan mungkin butuh pertolongan.
Sedangkan dari kisah dr. Stephanie Angela Prijanto muncul pemahaman bahwa kematian tetap menjadi pertanyaan besar, akan ke mana kita setelah itu? Itu selaras dengan renungan dr. Sak Liung Sp.KJ tentang kematian yang tetap menjadi perenungan tiada habis. “Kematian adalah pasti. Kehidupan itu tidak pasti,” ungkap psikiater dari Yogyakarta ini.
Dari dr. Rosilawati Anggraini, ada pembelajaran bahwa menjadi dokter itu bisa go international. “Peluang bekerja tanpa batas terbuka lebar bagi para dokter, termasuk pekerjaan antimainstream dan kesempatan melanglang buana,” kata dr. Rosilawati Anggraini.
Sebaliknya, ada beberapa kisah dari pedalaman yang unik, lucu, menyedihkan namun menguatkan, seperti yang diceritakan dr. Tigor Silaban, MKM(Epid) yang harus melakukan operasi tidak lazim, dr. Yohannes Dian Indrajati, Sp.KG yang harus menjelajah wilayah Timor dengan sepeda motor demi tugas kemanusiaan, dan dr. Stephanie Rachel Salmima yang menjadikan tugas PTT sebagai sebuah kegiatan adventure agar dapat menikmatinya hari ke hari.
Dokter Elta Diah Pasmanasari, Sp.S, MSi.Med memiliki kendala bahasa dengan penduduk lokal yang membuat pembaca ngakak-ngakak karena menimbulkan kesalahpahaman. Sementara dr. Hafiidhaturrahmah justru terjebak rindu pada pedalaman Nusa Tenggara.
Kadang dokter juga harus merangkap menjadi montir atau tukang bengkel, seperti yang dialami dr. Mudjiharto, Sp.An dan dr. Mas’ud Ruga Idris. Sementara dr. Ayu Nur Ain H., Sp.KK harus bisa menjadi konselor bagi anak gadis yang menerima pelecehan seksual. Oh, betapa kisah-kisah tersimpan ini akan memperkaya literasi kesehatan dan kemanusiaan.
Kisah pilu dan menjadi kepedihan bagi seorang dokter dialami dr. Bani Zakiah. Dia suatu ketika menyaksikan ketidakberdayaan pasien perempuan yang tak memiliki kekuatan, meski nyawa taruhannya. “Masih banyak perempuan teraniaya di tanah air ini, bahkan oleh keluarganya sendiri,” urai Dokter dari Pemalang tersebut.
Itu serupa yang dialami dr. Putu Sri Agung Paramita Kelakan, S.H yang harus bergumul dengan tanah becek dan medan berbahaya. Di antara itu semua, ada dr. Nurul Fathoni, M.Kes yang berjuang menguatkan hati pasien remaja yang terancam amputasi.
Tak sekadar berbicara penyakit, darah, kecelakaan, dan ketidakberdaaan. Pembaca akan dibuat gemas dengan kondisi Indonesia yang demikian luas dan memprihatinkan, hingga fasilitas kesehatan merupakan sebuah kelangkaan bagi saudara-saudara kita di pedalaman.
Namun, selebar apa pun luka-luka itu mendekam dalam tubuh para dokter ini, tetap akan tercipta tawa di antaranya, sebab mereka kaya dengan cinta. Hanya cinta yang mampu menggerakkan hati dan tubuh untuk menjelajah, berbuat, dan berbuat. “Maka, bacalah,” kata Wina Bojonegoro.(tok/tin)