Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur mengungkapkan, jumlah masyarakat miskin di Jatim pada semester I/2021 tercatat mengalami penurunan, terutama di pedesaan turun 33.246 jiwa. Tetapi di perkotaan naik 20.000 jiwa.
Pelbagai upaya dia lakukan untuk menekan angka kemiskinan ini. Tidak hanya itu, sejumlah pihak telah memberikan perhatian mengenai masalah ini dengan cara menyalurkan bantuan.
Minggu (12/9/2021) kemarin, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Khofifah menerima bantuan 25 ton beras dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Timur yang ditujukan kepada Masyarkat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Saya ucapkan terima kasih, ini bagian dari solidaritas sosial HIPMI untuk menyapa masyarakat Jatim. Karena sesuai sabda Rasulullah, bersedekah yang lebih bermakna adalah dengan bahan pangan. Dan sebagian besar bahan pokok di Jatim adalah beras,” katanya.
Dia berharap, dengan adanya bantuan ini maka tingkat kemiskinan di Jatim bisa diminimalisir.
“Semua akan berubah dengan adanya bantalan sosial. Artinya kedalaman dan keparahan itu menipis, artinya kalau mereka diberi bantalan-bantalan sosial seperti ini kemungkinan yang parah dan yang dalam akan makin mendekati garis kemiskinan. Kalau makin mendekati, dikasih intervensi sedikitnya saja, maka mereka akan masuk pada kategori tidak miskin,” ujarnya.
Sementara itu, Rois Sunandar Maming Ketua Umum HIPMI Jatim mengatakan bahwa bantuan yang diberikan tersebut merupakan rangkaian kegiatan dari pengusaha muda di pusat dan daerah untuk membantu pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan masyarakat miskin di masa pandemi.
Rois menyampakan, bahwa pihaknya siap bersinergi dengan provinsi dalam menyukseskan berbagai program melalui sinergitas bersama, salah satunya melalui peningkatan sektor pertanian.
Pengusaha muda yang sebagian besar bisnisnya berada di Kalimantan ini mengaku sangat tertarik untuk berinvestasi di sektor pertanian dengan mendirikan pabrik beras berkapasitas besar di Jatim.
“Saat ini kami sudah menjalankan bisnis pembibitan jagung di Jatim, dan berniat untuk merelokasi pabrik beras yang berada di Kalimantan ke sini. Karena dulu pada saat membangun pabrik itu, saya tidak memikirkan resources atau bahan bakunya di sana, padahal Kalimantan bukan lumbung padi. Produksi padi di sana tergantung pada tadah hujan, makanya saya berniat untuk memindahkannya ke Jatim karena produksi padi terbesar ada di Jawa,” papar Rois.
Khofifah menyambut gembira atas keinginan tersebut. Menurutnya, Jatim adalah daerah penghasil padi terbesar. Salah satu daerah penghasil terbesar adalah Lamongan, kemudian Ngawi dan Bojonegoro. Tetapi beras di Lamongan sebagain besar adalah beras medium, bukan premium. Untuk menjadikannya premium menurut Khofifah diperlukan fasilitas atau peralatan seperti dryer agar padi memiliki kekeringan yang cukup sehingga saat digiling, tingkat patahnya kecil.
“Tidak harus beralih menanam jenis padi yang berbeda karena kualitas beras medium ini bisa diubah menjadi premium dengan penanganan, salah satunya bed dryer. Alat ini akan bantu pengeringan sehingga saat diolah broken-nya kecil. Kalau beras sudah utuh, kandungan air kecil, maka akan jadi premium, harga akan melonjak. Sesederhana itu tapi tidak semua daerah paham dan memiliki itu,” ujarnya.
Di Jatim, lanjut Khofifah, produktivitas padi juga sangat besar, rata-rata mencapai 9 ton per hektar. Bahkan, ada yang produktivitasnya mencapai 14 ton per hektar. Tetapi banyak petani yang menjualnya langsung ke pengepul di sawah. Biasanya pengepul membawa mesin panen, combine harvester sendiri ke sawah dan memanennya. Mesin ini mengurangi tingkat losses hingga 10 persen. Dan petani belum ada yang memiliki mesin tersebut, petani memotong padi secara manual.
Selain produksi padi besar, Jatim juga menjadi penyangga kebutuhan beras untuk 16 Provinsi di wilayah Indonesia Timur. “Di sini potensi lebih besar dan marketable. Apalagi konektivitas di HIPMI daerah itu sangat bagus. Pangan harus diperkuat karena isunya sekarang dunia sedang menghadapi krisis pangan,” kata Khofifah Indar Parawansa. (man)