Pandemi Covid-19 mengalami lonjakan kasus yang tinggi, hal ini menyebabkan permintaan plasma konvalesen terus meningkat.
Akibatnya, para pendonor butuh waktu lebih lama sampai tiga hari untuk bisa mendonorkan darahnya. Lebih lagi, PMI Surabaya sedang kehabisan kantong.
Radio Suara Surabaya baru saja mendapat informasi dari pendengar bernama Ronny Judohidardjo.
Pria asal Blitar ini bercerita dirinya akan memberikan donor plasma konvalesen dan diminta ke Surabaya untuk melakukan screening. Dia juga mengungkapkan proses untuk mengetahui hasil screening memakan waktu dua hingga tiga hari.
Hal ini dibenarkan oleh dr. Martono Adi Kabag Pelayanan dan Humas PMI Surabaya. “Jadi memang proses screaning itu kan dua sampai tiga hari,” jelasnya pada Radio Suara Surabaya, Kamis (15/7/2021).
Martono mengungkapkan sebenarnya waktu screening bisa diketahui dalam waktu 24 jam, Namun karena tingginya permintaan konvalesen menyebabkan antrean pendonor juga cukup banyak.
“Sebetulnya bisa sampai 24 jam, tapi memang di Surabaya ini antreannya kan cukup banyak, untuk pendonor khususnya. Tapi tetap masih belum mencukupi, karena sehari itu permintaan sekitar 80 pasien. Memang cukup banyak,” ujarnya.
Seperti pada sebelum pandemi mengalami lonjakan tinggi, pendonor bisa memberikan darahnya satu hari setelah melakukan screening.
“Kalau sebelum-sebelumnya memang satu hari, sebelum pandemi terjadi lonjakan ini, setelah lonjakan ini kan akhirnya semua permintaan itu membawa donor keluarga sendiri-sendiri gitu sehingga terjadi antrian itu tadi,” katanya.
Pihaknya menyebutkan, permintaan plasma konvalesen tidak hanya dari Surabaya tapi juga daerah lain, Blitar misalnya yang tidak memiliki alat untuk menerima pendonor plasma konvalesen.
“Blitar kan belum punya alatnya juga sehingga mintanya ke sini. Nah Surabaya ini, rujukannya tidak hanya Surabaya saja tapi seluruh Indonesia juga minta ke sini. Karena kita kan memang pendonornya juga cukup banyak tapi masih tetap belum mencukupi untuk pemberian plasma ini,” ujarnya.
Martono menambahkan, di Jawa Timur, Surabaya yang memiliki alat paling banyak dibandingkan daerah lain. Bahkan banyak daerah yang belum punya alat itu.
“Nah memang selama ini yang paling banyak alatnya ada di Surabaya. Kita punya tujuh alatnya, tapi tetap masih kurang mencukupi, untuk memenuhi kebutuhan Kota Surabaya sendiri saja kita msih blm bisa. Paling nggak kita butuh 10 alat, paling nggak, minimal untuk Kota Surabaya aja, ini masih punya tujuh, sedangkan di daerah lain itu hanya punya satu. Bayangkan Tulungagung itu punya satu, Kediri itu juga punya satu. Lainnya belum ada yang daerah barat itu,” jelasnya.
Sudah seminggu terakhir, kata Martono, dua alat di PMI Surabaya sedang kehabisan kantong dan masih menunggu kantong yang diimpor datang, sehingga sisa lima alat yang bisa digunakan dan menyebabkan antrean semakin panjang.
“Ini yang Surabaya dua alat ini kebetulan kehabisan kantong. Sekarang hanya lima karena nunggu kantongnya. Nah kantongnya kan masih impor ini semua. Karena di luar negeri juga banyak pandemi sehingga kemudian terjadi royokan kantong gitu,” ujarnya.
Kantong yang digunakan oleh lima alat lain tidak bisa digunakan di dua alat ini. Penyebabnya karena kantong yang dibutuhkan harus bermerek sama dengan alat itu. Dan dua alat ini memiliki merek yang berbeda dengan lima lainnya.
“Jadi selama kehabisan kantong seminggu ini kami pakai lima alat, yang dua alat ini kan satu merek, mereknya sama, harus pake kantong yang mereknya sama. Nah ini kita ada tiga merek, yang satu merek itu jumlahnya dua kebetulan kantongnya habis,” ujarnya.(frh/den)