Sejumlah penelitian, termasuk yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menunjukkan, masih terlihat dan terasa sekali diskriminasi antara anak laki-laki dengan perempuan. Untuk itulah PBB melalui majelis umumnya pada 19 Desember 2011 silam menetapkan 11 Oktober sebagai Hari Perempuan Anak Sedunia.
“Memang benar, Hari Anak Perempuan Sedunia belum banyak yang kenal. Kalau Hari Anak Sedunia sudah. Nah yang ini lebih kepada (perlindungan) anak perempuan di seluruh dunia. Tema kali ini “My Voice Our Equal Future”. Secara spesifik juga, sekarang ini diarahkan kepada digitalisasi,” kata Dr drg Nyoman Anita Damayanti Perwakilan UNICEF Indonesia.
Dokter Anita yang juga merupakan seorang akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair mengatakan, peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia itu diadakan karena sampai sekarang diskriminasi itu bisa dilihat dalam banyak hal. Termasuk di tengah pandemi Covid-19 ini. Baik oleh orang tua mau pun oleh masyarakat.
“Kalau kita lihat di masa Covid-19 ini masih ada diskriminasi antara anak perempuan dan anak laki-laki ketika sekolah daring. Kebutuhan fasilitas internet kemudian fasilitas gadget. Kalau misalnya dalam satu keluarga ada tiga anak, kemampuan memiliki gadget terbatas. Masih diprioritaskan untuk anak laki-laki,” katanya.
Anita juga yang menyebutkan, PBB pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan, 1 dari 4 anak perempuan yang berusia 15-19 di dunia ini tidak bekerja maupun tidak memperoleh pendidikan. Hal berbeda terjadi pada anak laki-laki. Hanya 1 dari 10 anak laki-laki di usia yang sama yang tidak bekerja dan tidak mendapatkan pendidikan.
“Jadi peluang untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki itu sangat kecil. Padahal kalau kita ngomong kondisi kesehatan dan masa depan bangsa, kan, tergantung dari kondisi ibunya,” ujarnya. “Itulah kenapa sejak awal kita perlu memberikan perlindungan kepada mereka (anak perempuan),” katanya.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan masih sangat kental terasa. Terutama di Jawa yang sangat kental dengan budaya dan tradisi yang ada. Misalnya, perempuan selalu dianggap sebagai “kanca wingking”. Meskipun, kata Anita, saat ini perempuan sudah mulai bergeser tidak lagi di belakang tapi ke samping dan ke depan, di beberapa daerah hal itu masih terasa sekali.
Unicef, kata dia, telah melakukan riset di sejumlah daerah di Jawa. Tepatnya di Malang. Secara lebih spesifik di Kota Batu dan daerah yang lebih terpencil di kawasan Malang Raya. Riset itu dilakukan terhadap anak-anak yang menikah di usia dini. Tim Unicef melakukan wawancara mendalam terhadap mereka dan mendapati sejumlah fakta.
“Ternyata, setelah kami lakukan indepth interview, orang tua itu juga mendorong anaknya itu untuk segera menikah. Nah, alasannya, nomor satu memang benar karena faktor ekonomi. Kemudian setelah kami telusuri, kami punya beberapa sampel, kami dapat trennya. Mereka yang pendidikannya tinggi cenderung tidak menikah dini,” ujarnya.
Hasil riset itu menunjukkan, mereka yang menikah dini karena pendidikannya singkat karena kemampuan ekonomi orang tua mereka memang terbatas. Daripada menyekolahkan mereka, orang tua memilih mengawinkan saja anaknya. Padahal, kata Anita, hal itu sangat berbahaya. Baik dalam faktor biologis maupun faktor psikologis anak.
“Ini sangat berbahaya, terutama mempengaruhi kematian ibu dan anak. Juga kualitas anak yang dihasilkan. Karena kandungan mereka ini belum siap. Itu aspek biologis. Belum lagi aspek psikologis. Mereka ini sangat belum siap untuk menjadi seorang ibu. Mereka harus menjalani itu karena memang faktor lingkungan. Lingkungan yang mendorongnya,” katanya.(den/ipg)