Dr Tuti Budi Rahayu Dosen Sosiologi Fisip Unair memastikan, nilai gotong royong masyarakat Indonesia dalam survei terakhir yang dilakukan sejumlah pihak masih tinggi.
“Dari hasil penelitian baru-baru ini orang-orang Indonesia itu punya nilai gotong royong yang tinggi. Termasuk soal empati, kepedulian sesama di masa Pandemi,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (22/6/2021).
Dia ingatkan lagi di awal-awal Pandemi Covid-19 ada banyak fenomena “cantelan” di pagar-pagar untuk tetangga yang tidak bisa beli kebutuhan pokok atau di rumah-rumah warga terjangkit Covid-19.
“Itu lebih ke masyarakat menengah bawah yang punya solidritas sosial yang lebih kuat dibandingkan masyarakat di perumahan menengah ke atas. Tetap ada tapi bentuknya berbeda,” ujarnya.
Di masyarakat kalangan menengah ke atas, dia contohkan di perumahan tempat dia tinggal, gorong-royong terjadi meski tidak terlihat. Misalnya ketika ada tetangga perumahan yang terjangkit Covid-19.
“Kalau di perumahan lebih ke apa, ya. Berupa saweran. Seperti di perumahan saya. Kami bantu tetangga yang kena Covid-19, ngumpulin dana, kami sampaikan ke yang bersangkutan, misal lewat transfer,” ujarnya.
Tuti yakin, gotong-royong dan empati seperti itu tetap ada. Persoalannya, Pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini tidak hanya butuh gotong royong, tapi juga kedisiplinan dan ketaatan protokol kesehatan (prokes) lebih kuat.
“Saya rasa, untuk itu, perlu ada petugas kontrol sosial. Kita masyarakat akan saling jaga, tapi memang akan menghindari menegur orang lain secara langsung, karena ada budaya sungkan,” ujarnya.
Petugas Kontrol Sosial inilah, menurutnya, yang akan memperkuat kesadaran masyarakat tentang pencegahan penularan dengan penerapan protokol kesehatan dengan cara-cara yang halus.
“Kalau sindiran sih masih bisa. Inilah yang perlu diperkuat. Orang Jawa Timur itu gotong royong tinggi, tapi sungkan untuk menegur kalau ada yang salah (tidak menerapkan protokol dengan baik),” ujarnya.
Masyarakat Jawa Timur, kata Tuti, adalah masyarakat yang komunal. Senang berkumpul secara guyub dan rukun. Tapi itu juga yang menjadi salah satu faktor angka kasusnya menjadi tinggi.
“Seperti lebaran kemarin, kontrol sosial longgar. Dianggap Covid-19 sudah turun. Terus kumpul-kumpul. Protokol kesehatan tidak diterapkan, akhirnya melonjak lagi,” ujarnya.
Petugas Kontrol Sosial yang dia maksud, dia sadari, juga tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. Masyarakat perlu punya kesadaran yang sama untuk menegur sesamanya dengan cara yang halus.
“Jadi kesadaran masyarakat untuk saling mengingatkan dengan cara halus juga diperlukan. Tapi juga harus dilengkapi dengan knowledge, pengetahuan tentang protokol kesehatan,” ujarnya.
Pengetahuan itu penting untuk meyakinkan orang yang sedang diingatkan. Apalagi, argumen soal pentingnya protokol kesehatan itu sangat mudah dipatahkan dengan fakta bahwa virus penyebab Covid-19 memang tidak mungkin terlihat secara kasat mata.
“Seperti misalnya kejadian di Suramadu kemarin. Pemerintah maupun masyarakat harus bisa saling support, saling mendukung. Terutama untuk penyadaran masyarakat pada upaya hidup sehat,” ujarnya.
Tuti mengakui, masyarakat memang sudah mulai jenuh dengan Pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas setiap orang. Apalagi dengan adanya peningkatan kasus ini, prediksinya Indonesia baru bisa bebas dari Covid-19 pada 2023 mendatang.
Karena itu, penyadaran masyarakat menurutnya menjadi sangat penting. Jangan sampai teledor dan abai akan protokol kesehatan. Caranya dengan edukasi secara terus menerus.
“Persoalannya, masyarakat itu berlapis lapis. Memang harus dilihat, mana dulu yang perlu diberi pengetahuan. Itu yang pemerintah harus kerjakan. Pada intinya, tingkat kedisiplinan masyarakat harus diperkuat,” ujarnya.(den)