Faktor human error atau kelalaian manusia masih menjadi faktor tertinggi penyebab kecelakaan di jalan tol, yakni sebanyak 87 persen. Sedangkan 12,5 persen kecelakaan disebabkan karena faktor kendaraan, dan infrastruktur tidak lebih dari satu persen.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Machsus Fauzi Dosen Transportasi Teknik Infrastruktur kepada Radio Suara Surabaya, Senin (8/11/2021).
Beberapa hari yang lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan kasus kecelakaan tunggal Vanessa Angel dan suaminya yang meninggal dunia di KM 67 Tol Jombang-Mojokerto pada Kamis (4/11/2021) lalu. Banyak yang menyebut kondisi infrastuktur jalan menjadi penyebab kecelakaan itu terjadi. Namun berdasarkan investigasi polisi, kecelakaan disebabkan karena sopir lelah dan mengantuk.
“Angka statistika menjawab polemik yang cukup viral di berbagai Whatsapp Group, yang menduga penyebab kecelakaan VA dan keluarga adalah infrastruktur jalan. Itu tampaknya kurang pas dijadikan alasan,” kata Machsus.
Ia menambahkan, hasil investigasi polisi juga menunjukkan tidak ada jejak pengereman di jalan atau ban.
Di sisi lain, dalam kasus Vanessa Angel, netter menemukan rekaman instagram stories yang dibagikan sopir Vanessa sebelum kecelakaan terjadi, yang menunjukkan ia mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Hal ini juga menjadi perhatian Machsus, tentang masih rendahnya penindakan bagi kendaraan yang melaju dengan kecepatan di atas batas maksimal. Padahal, kecepatan tinggi menyumbang tingkat fatalitas terbesar dalam kasus kecelakaan.
“Mungkin karena beberapa faktor, seperti keterbatasan aparat dan sebagainya. Tapi sesungguhnya itu bisa diatasi dengan teknologi, bagaimana kecepatan dapat termonitor dan ada notifikasi di room control,” ujarnya.
Tidak hanya bagi kendaraan dengan melebih ambang batas kecepatan, namun kendaraan yang melaju di bawah batas minimun kecepatan juga harus ditilang. Karena kendaraan yang melaju lambat juga dapat menyebabkan kecelakaan, karena dapat mengangetkan bagi kendaraan di belakangnya.
Selain faktor kecepatan tinggi, penindakan bagi kendaraan ODOL (over dimention, over loud) menurut Machsus juga masih kurang. Padahal, faktor kendaraan yang tidak laik jalan menyumbang 12,5 persen terjadinya kecelakaan.
“Salah satunya terkait regulasi pembatasan usia kendaraan yang belum diterapkan efektif, termasuk kendaraan ODOL. Pelu didukung agar dipastikan kendaraan yang beroperasi adalah kendaraan laik fungsi. Infrastruktur laik fungsi, tapi kendaraannya tidak, potensi kecelakaannya juga besar,” ujarnya.
Ia menyarankan pemerintah agar melakukan kebijakan diskresi. Jadi kendaraan yang sudah tidak laik fungsi dapat dioperasikan di daerah-daerah lain yang kebutuhan atas kendaraan angkutan barangnya tinggi.
Meski kebijakan diskresi ini dinilai kurang pas, tapi hal itu bisa menjadi alternatif solusi. Terlebih bagi daerah-daerah dengan volume kendaraannya rendah, sehingga menekan angka kecelakaan.
Ini sebagai solusi alternatif mengingat kebutuhan armada angkutan di beberapa daerah.
“Indonesia cukup luas, kebutuhan angkutan barang tinggi, seperti Papua, meski melewati batas usia sehingga kurang laik di tol transjawa. Mungkin solusi jalan tengahnya diskresi,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Saat udah nggak laik fungsi dan dioperasikan di daerah-derah membutuhkan, bisa dilihat volumenya. Karena kalau volume rendah, maka potensi kecelakaan dari ODOL juga rendah”. (tin/rst)