Kehadiran teknologi dan internet membuat informasi dari mana saja mudah diakses dan dibuat oleh siapa pun. Selain fakta, ada juga berita bohong dan informasi tidak benar seperti hoaks dan disinformasi.
Sayangnya, tidak semua orang memiliki literasi yang baik, sehingga mudah percaya hoaks atau bahkan terlibat dalam pembuatan atau penyebarannya.
Dokter Gina Anindyajati, Sp.KJ, psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta mengatakan, setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi seseorang mudah percaya berita bohong dan hoaks dari sisi psikologis.
“Faktor pertama adalah kecenderungan untuk menyangkal apa yang sedang terjadi, sehingga individu yang bersangkutan akan mempercayai apapun yang kontra/berlawanan dengan fakta yang ada,” kata dr. Gina seperti dilaporkan Antara.
“Ketika terjadi hal yang membuat seseorang kehilangan (sesuatu yang berharga termasuk kesempatan, dan kebebasan), maka orang akan cenderung menyangkal. Apalagi kalau hal itu bikin dia harus berubah dan keluar dari zona nyaman,” ujarnya.
Faktor kedua, adanya kecenderungan psikologis memercayai teori konspirasi. Lalu faktor ketiga adalah keterikatan seseorang secara ideologis maupun politik terhadap penyebar hoaks (se-aliran).
“Orang cenderung semangat menyebarkan berita palsu karena mereka yakin berita itu adalah benar. Sekitar 30 persen meyakini yang mereka teruskan itu benar. Selain itu juga karena orang menganggap berita palsu itu bagian yang sama dengan dirinya (identitas politik atau kepercayaan lainnya) sehingga ‘merasa perlu’ menyebarkannya,” kata dr. Gina.
Dia menambahkan, orang yang menyebar berita palsu juga memiliki dorongan emosional dan bermaksud membuat orang lain merasakan efek emosional seperti yang dia alami saat membaca tajuk judul berita palsu.
Ketika disinggung soal pengecekan fakta sebelum menyebarkan sebuah informasi, dr.Gina mengatakan bahwa orang cenderung menolak melakukan pengecekan fakta karena secara kognitif manusia itu pemalas, sehingga tidak memberikan perhatian penuh pada berita yang dibaca.
“Otak manusia menghemat energi untuk tugas-tugas penting, sehingga tidak semua informasi akan di-kroscek untuk memastikan kesahihannya. Apalagi kalau berita palsu ini ternyata disampaikan oleh pihak yang kredibel, disebarkan secara luas, maka otak manusia secara otomatis menganggapnya sebagai ‘benar’,” ujarnya.
Efek terhadap diri
Seseorang yang terus menerus terpapar dan mengonsumsi informasi yang salah, menurut dr. Gina, secara kognitif yang bersangkutan akan semakin malas menyaring berita dan mudah untuk mempercayai sesuatu yang familiar atau “bisa karena biasa”.
“Karena kita biasa mendengar hal yang tidak benar, dan ini didengar banyak orang juga, misalnya berita palsu yang viral, maka kita perlahan akan meyakininya sebagai sebuah kebernaran,” kata dia.
Hal ini, lanjut dr. Gina, tentu saja membahayakan karena membuat seseorang menjadi terlena dan terjerumus dalam informasi yang salah. Tentu saja hal itu akan berdampak pada proses pengambilan keputusan yang tidak tepat atau bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
“Informasi yang masuk ke otak akan diterima oleh saraf otak dan menghasilkan respons tertentu, begitu juga dengan berita palsu. ‘Neurons that fire together, wire together‘; sehingga ketika jalur informasinya hendak diubah, akan sulit mengubahnya karena sudah terbiasa karena individu itu tidak memahami bahwa itu adalah hal yang salah,” kata psikiater di Angsamerah Institution itu.
Menangkal hoaks di masa pandemi
Dokter Gina lantas membagikan sejumlah langkah yang bisa diambil masyarakat untuk menangkal sebaran hoaks dan berita tidak benar, terutama di masa Pandemi Covid-19 yang mungkin masih menimbulkan kepanikan tersendiri di kalangan masyarakat luas.
Pertama, penting bagi seseorang untuk memusatkan perhatian pada apa yang dibaca, bukan sebagai sambilan atau selewatan saja, tapi fokus pada apa yang dilihat, dibaca, dan dipahami.
“Berusaha untuk sadar penuh akan aktivitas yang dikerjakan sehingga juga bisa mengambil keputusan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan berikutnya (mindful reading),” kata dr. Gina.
Selanjutnya, adalah bersabar. Menurutnya, ketika akan menyebarkan informasi, usahakan untuk bersabar dan melakukannya dengan perlahan, bukan dalam kondisi terburu-buru. “Pasitkan bahwa kita telah mengambil waktu untuk memahami apa yang akan kita bagi.”
Ketiga adalah menyatakan atau menyampaikan fakta dengan bahasa yang lugas dan sederhana. Bila ada informasi yang hendak disebarluaskan maka gunakanlah bahasa yang mudah dimengerti dan menampilkan fakta.
“Terakhir adalah melakukan konfirmasi dan pengecekan terhadap fakta; pastikan bahwa kita sudah melakukan pengecekan ulang berkaitan dengan fakta yang akan kita bagikan,” pungkasnya.
Upaya pemerintah
Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga menyediakan informasi klarifikasi terkait hoaks dan disinformasi di situs resminya. Masyarakat cukup membuka laman https://www.kominfo.go.id/, lalu masuk ke menu “Publikasi” dan pilih “Laporan Isu Hoaks”.
Tak hanya itu, pemerintah bekerja sama dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCEN) pada Januari 2021 membuat situs resmi pencarian kebenaran informasi, yang bisa diakses melalui situs http://s.id/infovaksin.
Situs ini merupakan hasil dari kerja sama dengan KPCEN dan berbagai kementerian, lembaga dan organisasi terkait di Indonesia, dan hadir sebagai pusat (hub) komunikasi publik terintegrasi yang meliputi informasi terkait upaya penanganan Covid-19, vaksinasi Covid-19, serta pemulihan ekonomi nasional.
Lebih lanjut, ada tiga langkah untuk mencari dan membuktikan hoaks. Pertama, pengguna membuka tautan http://s.id/infovaksin, klik “cek & buktikan hoaks”. Lalu, masukkan kata/kalimat yang ingin dicari, dan klik ikon kaca pembesar/search Selanjutnya, artikel penjelas hoaks terkait akan muncul dan dapat diakses dan dibaca sesuai fakta.(ant/iss/den)