Jumat, 22 November 2024

Fahira Idris Sebut Kasus Pemerkosaan 21 Santriwati Masuk Kategori Kejahatan Luar Biasa

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Fahira Idris anggota DPD RI. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Fahira Idris anggota DPD RI menegaskan, kasus pemerkosaan 21 santriwati yang dilakukan oknum guru pesantren bernama Herry Wiryawan alias HW adalah tindakan biadab yang harus mendapatkan hukuman paling maksimal sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak.

Tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur ini adalah kejahatan luar biasa sehingga satu-satunya opsi hukumannya adalah pidana paling berat sesuai ketetapan UU Perlindungan Anak yaitu mulai dari hukuman mati, seumur hidup, dan hukuman tambahan kebiri kimia.

“Pelaku ini predator anak. Sangat biadab. Sangat berbahaya bagi masyarakat. Tidak cukup hanya dihukum penjara selama-lamanya tetapi harus diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia karena pelaku adalah predator dan korbannya sudah 21 orang. Predator seperti ini tidak layak dan tidak boleh lagi ada di lingkungan masyarakat. Harus di penjara selama-lamanya. Ini kejahatan luar biasa,” kecam Fahira dalam keterangannya, Senin (13/12/2021).

Menurut Fahira, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, apa yang dilakukan pelaku sudah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa sehingga hukumannya bukan hanya hukuman pokok tetapi juga hukuman tambahan yaitu kebiri kimia yang memang ditujukan untuk para predator anak.

“Predator anak itu memanfaatkan kelemahan anak-anak untuk menjalankan aksi biadabnya. Itulah kenapa kejahatan seksual kepada anak-anak dikategorikan kejahatan luar biasa. Saya berharap selain menghukum pidana seberat-beratnya, hakim menjatuhkan hukuman tambahan kebiri kimia. Terlebih saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Hukuman maksimal dan kebiri kimia adalah bentuk ‘perang’ negara atas predator anak,” tegas Fahira.

Selain fokus mengawal kasus ini, hal penting lainnya yang harus dikedepankan, kata Fahira, adalah negara hadir memastikan hak-hak para korban dan keluarganya terpenuhi dan mendapat pendampingan sampai tuntas. Ini karena kejahatan seksual berdampak fisik dan psikologis terhadap anak, yang dapat terbawa hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengganggu tumbuh kembang anak sehingga kondisi fisik dan psikologis korban harus dipulihkan agar bisa menata kembali masa depannya.

Sekadar diketahui, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut menyebut korban tindakan asusila guru pesantren di Kota Bandung, tidak hanya berasal dari daerah Garut tapi ada dari daerah lain. Dilaporkan ada 21 orang santriwati menjadi korban, dengan kondisi ada yang hamil maupun sudah melahirkan.

“Mereka sudah dalam pendampingan kami, sekarang mereka sudah dengan orang tuanya,” kata Diah Kurniasari Ketua P2TP2A Kabupaten Garut saat jumpa pers di Garut, Kamis (9/12/2021).(faz/tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs