Beberapa waktu terakhir, masyarakat Jawa Timur khususnya mendapat angin segar dengan kabar gembira ketersediaan vaksinasi dosis kedua dari Kementerian Kesehatan. Namun sayang, jumlah vaksin yang diterima Dinas Kesehatan Jatim, masih jauh dari jumlah calon penerima vaksin dosis kedua di Jawa Timur.
Data dari Satgas Penanganan Covid-19 Jatim mengatakan, jumlah penerima vaksin dosis pertama di Jatim sampai sejauh ini sebanyak 7.630.509 orang. Sedangkan penerima dosis kedua baru sebanyak 3.170.860 orang. Artinya, masih ada sekitar 4,5 juta orang yang menunggu vaksinasi dosis kedua.
Akibatnya, dalam beberapa waktu terakhir antrean masyarakat yang ingin mendapat vaksin dosis kedua terjadi di sejumlah fasilitas kesehatan seperti puskesmas maupun faskes lainnya.
Pada hari Selasa (3/8/2021) pagi, pendengar Suara Surabaya melaporkan antrean mengular terjadi di sejumlah puskesmas seperti di Kebonsari, Putat Jaya, Jeruk, Sememi, dan Bendul Merisi.
Hingga semalam, Kamis (5/8/2021), RS TNI AU Soemitro Taman Bungkul dipadati warga yang rela bermalam di halaman RS supaya dapat nomor antrean vaksinasi.
Sementara di tempat-tempat berbeda, pemerintah juga menggelar vaksinasi massal di waktu yang hampir bersamaan.
Terkait ini, Dr. dr. M. Atoillah Isfandiari, M. Kes, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga mengatakan ini adalah sebuah ironi. Puskesmas mengeluhkan logistik vaksin yang terlambat, tapi di sisi lain di hari yang sama ada beberapa aktivitas vaksinasi massal.
“Harusnya vaksinasi terpusat dikoordinasi dinas kesehatan (Dinkes). Bahwa kemudian ada pihak yang ingin menyelenggarakan sebaiknya statusnya adalah BKO (bawah kendali operasi), komandannya adalah dinas kesehatan. Bahkan kalau swasta yang ngadakan, tetep komandannya adalah dinas kesehatan,” kata Atoillah kepada Suara Surabaya, Jumat (6/8/2021).
Semangat percepatan, kata Atoillah, kalau tidak diimbangi dengan perencanaan logistik yang baik adalah ironi. Karena puskesmas sebagai fasilitas layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, sering kali masyarakatnya kesulitan untuk mengakses vaksin. “Bahkan statusnya warga kota sendiri,” jelasnya.
Dia menambahkan, untuk pelaksanaan vaksinasi massal terbagi dua. Kalau yang menyelenggarakan pemerintah, koordinasinya dengan dinkes. Sedangkan bila swasta yang mengadakan, kerjasamanya dengan kabupaten/kota termasuk nakesnya.
“Misalnya di lapangan, vaksinatornya tetep aja dari puskesmas. Sehingga mereka (nakes) dateng ke sana, sementara dia meninggalkan tugas harian yang utama. Kalau vaksinasi dilakukan di puskesmas, dia di puskesmas bisa bekerja efektif,” terangnya.
Sementara dari sisi keamanan, dinilainya vaksinasi massal pasti mengundang kerumunan dan rawan terjadi penularan virus Covid-19. Padahal kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh vaksinasi tidak muncul hari itu juga.
“Sementara pada saat kerumunan mencari vaksin terjadi penularan, dan ada yang tertular biasanya gejala awal muncul paling cepet tiga hari. Itu yang kadang-kadang akhirnya beprotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat saya sudah divaksin kok positif,” ujarnya.
Diakuinya, percepatan vaksinasi di Surabaya sosialisasinya belum efektif, sehingga perlu melibatkan unsur terkecil di masyarakat yaitu RT RW.
“Peran aktif RT RW saya kira mungkin perlu lebih di-force,” pungkasnya.(dfn/ipg)