Jumat, 22 November 2024

Epidemiolog: 70 Persen Warga Harus di Rumah untuk Hentikan Transmisi Virus

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Pejalan kaki melintas di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (7/4/2020) setelah pemerintah resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta. Foto: Antara

Untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19, satu-satunya cara adalah membatasi penyebaran virus dari hulu dengan membatasi mobilitas masyarakat. Karena virus dapat menyebar karena inangnya (manusia) berinteraksi dengan inang yang lain.

Windhu Purnomo Pakar Epidemiologi yang juga merupakan Tim Kajian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair mengatakan itu. Minimal 70 persen dari total jumlah penduduk harus tetap di rumah dengan pembatasan secara serius sehingga lonjakan kasus Covid-19 melandai.

“Kalau kita mampu minimal 70 persen menahan warga di rumah dalam satu waktu, maka itu seperti herd immunity. Kalau sudah 70 persen, virus sulit untuk berpindah (inang). Virus akan kebingungan, sulit melakukan transmisi,” katanya kepada Radio Suara Surabaya, Senin (5/7/2021).

Sedangkan 30 persen warga sisanya dapat berada di luar rumah dengan catatan keperluan mendesak dan berada di lini faktor esensial, seperti aparat keamanan, keperluan logistik, berobat, dan lainnya.

Dia menggambarkan, jika dalam satu rumah terdiri dari beberapa anggota keluarga, maka yang bisa ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan adalah sepertiganya. Jika yang lain harus ke luar rumah, maka tidak dilakukan secara bersamaan dan harus bergantian.

“Prinsipnya kita menghitung yang boleh ke luar rumah dalam satu waktu maksimal satu per tiga, tidak boleh lebih. Kalau mau ke luar gantian, jangan dalam satu waktu. Dan itu adalah mereka yang tidak berisiko tinggi,” lanjutnya.

Menanggapi kebijakan PPKM Darurat di Jawa-Bali yang berlaku hingga 20 Juli mendatang, menurutnya, apapun istilah pembatasan yang dipakai yang terpenting adalah penerapannya.

Dokter Windhu menyontohkan bagaimana India berhasil keluar dari “tsunami” kasus Covid-19 beberapa waktu lalu. Menurutnya, itu karena India melakukan lockdown di beberapa wilayah bagian dan membuat 98 persen warganya tetap berada di rumah.

Jika penduduk India mencapai 1,3 miliar, maka lanjut dr. Windhu, Indonesia yang berpeduduk 271 juta juga bisa keluar dari lonjakan kasus Covid-19.

“Itu karena ada penegakan disiplin bersama. Sekarang, kasus di India tingga sepersepuluh dari puncak kasus karena lockdown selama 21 hari. Indonesia harusnya bisa seperti itu,” ujarnya.

Tentunya, pembatasan mobilitas juga membutuhkan solidaritas sosial, mengingat tidak semua warga secara ekonomi mampu untuk melakukannya. Sehingga, ia berharap pemerintah mendukung dengan memberikan bantuan bagi warga yang memiliki keterbatasan ekonomi dan para pekerja harian.

Menurut dr. Windhu, pembatasan mobilitas menjadi jalan keluar mengingat tingkat vaksinasi di Indonesia masih jauh dari target.

Hingga 3 Juli kemarin, tercatat 31.573.240 orang telah mendapatkan vaksin Covid-19 dosis pertama. Sementara penerima vaksin Covid-19 dosis kedua 13.922.732 orang. Dengan demikian baru 30,50 persen warga Indonesia telah mendapatkan vaksinasi lengkap. Padahal untuk membentuk herd immunity, minimal sudah ada 70 persen masyarakat yang telah divaksinasi.

“Sebelumnya, vaksinasi seolah-olah bisa menyelesaikan masalah (pandemi di Indonesia), meninabobokan kita. Padahal kita butuh minimal 70 persen. Kita masih jauh mas, masih jauh,” ujarnya.(tin/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs