Dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas mulai hari ini, Senin (30/8/2021), pihak sekolah harus menyiapkan sistem ‘buka tutup’ mengingat pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Dokter Dominicus Husada Ahli Tropical Disease Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Soetomo yang menyatakan itu.
Menurutnya, jumlah kasus Covid-19 saat ini memang sudah menurun daripada Juni-Juli kemarin. Tapi tidak ada yang menjamin kasus Covid-19 sudah hilang.
Dia tegaskan, risiko penularan terhadap anak-anak di tengah pelaksanaan PTM terbatas tetap ada dan akan terus membayangi.
“Kalau kasusnya tinggi, sekolah tutup. Kalau rendah, buka lagi. Jadi kita akan siap dengan buka tutup sampai ada yang lebih bagus ‘penahan’ kita,” kata dr Dominicus kepada Radio Suara Surabaya, Senin (30/8/2021).
Dokter yang juga Pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim itu bilang, dia dukung PTM digelar lagi karena cakupan vaksinasi sudah lumayan tinggi.
Selain itu, dia juga melihat bahwa persiapan sekolah untuk pembelajaran tatap muka sudah dilakukan lebih dari setahun melalui simulasi-simulasi.
“Bagi teman-teman (sekolah), mereka sudah latihan tapi tidak pernah bertanding. Kapan bertandingnya? frustasi juga,” kata dr. Dominicus.
Apalagi, kata dokter yang juga Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) itu, pembelajaran daring belum menunjukkan respon yang baik bagi anak-anak.
Dia pun menilai, sistem blended learning, dengan kombinasi daring dan luring di Indonesia (hybrid) juga belum bisa dikatakan sebagai strategi yang berhasil diterapkan.
“Itu (blended leaning) masalah juga, kita tidak berpengalaman soal itu karena (pembelajaran) online tidak terlihat responnya baik. Apa yang mereka kerjakan tidak tahu,” tambahnya.
Tidak semua daerah berhasil dengan sistem online. Apalagi, kata dia, di daerah-daerah terpencil dengan koneksi internet buruk akan membuat sistem pembelajaran daring tidak maksimal.
Yang jadi masalah, lanjutnya, bila siswa yang sebenarnya tidak memenuhi standar kelulusan tapi tetap diluluskan. Hal itulah yang menurutnya berpotensi memunculkan lost generation.
Awalnya, istilah lost generation itu ditujukan untuk kelompok sosial yang mengalami kebingungan dan kehilangan arah pada awal pasca-Perang Dunia I.
Sekarang, istilah dipakai lagi untuk mewakili dampak pandemi Covid-19. Lost generation dikhawatirkan muncul akibat dari ketidaktepatan pola pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
“Sebetulnya masalahnya adalah tidak masuk (sekolah tatap muka) tapi diluluskan. Jadi sistemnya harus baik. Kalau sistemnya enggak baik, kenapa harus diluluskan? kan tidak menggambarkan pengetahuan pada tingkatnya,” kata dokter spesialis anak tersebut.(tin/den)