Saatnya dunia kesehatan, menjadikan jamu obat tradisional asli Indonesia, sebagai obat pendamping pengobatan modern. Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) yang telah menekuni obat tradisional Indonesia selama 40 tahun, Prof., Dr. Mangestuti Agil, MS, Apt., mendorong dunia kesehatan mengintegrasikan obat-obatan farmasi dengan jamu karena khasiat jamu baik bagi kesehatan tubuh.
Apalagi di beberapa negara di Asia yang memiliki pengobatan tradisional seperti Jepang, China hingga India, telah mengawinkan pengobatan modern dengan pengobatan herbal yang telah lama digunakan turun menurun di negara mereka.
“Di Jepang misalnya, setelah melakukan operasi kanker, mereka menggunakan pengobatan tradisional sebagai penguat. Itu keduanya digunakan bersama-sama. Bukan menggantikan lho, ya. Itu harus dilakukan juga di Indonesia,” kata Mangestuti kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (8/10/2021).
Sementara di Indonesia, sebagian besar dunia kedokteran masih banyak yang kurang menerima pengobatan tradisional karena minimnya hasil penelitian dan pengujian tentang khasiat jamu. Padahal menurut Mangestuti, jamu memiliki banyak manfaat jika diramu dengan benar dan dikonsumsi secara rutin.
Terlebih lagi, Pemerintah Indonesia juga terus mendukung dukungan UMKM maupun industri jamu, karena obat tradisional merupakan kekayaan budaya dan alam Indonesia dan memiliki nilai strategis dari sisi ekonomi.
“Sekarang ini, institusi penelitian dari perguruan tinggi, organisasi, lembaga pemerintah baik dalam maupun luar negeri, sangat banyak. Jadi bisa pemakaian jamu yang turun temurun ini dikaji secara ilmiah,” kata perempuan yang juga bekerja di Poli Obat Tradisional Indonesia RSUD dr. Soetomo itu.
Ia mencontohkan, misalnya penelitian dan kajian soal manfaat kunyit bagi kesehatan wanita. Karena dalam tradisi Jawa, seorang perempuan yang sudah memasuki masa pubertas dianjurkan untuk meminum jamu kunyit asam. Selama turun-menurun, budaya meminum jamu itu terus dilakukan. Hingga adanya penelitian yang menunjukkan bahwa kunyit dapat bermanfaat untuk melancarkan menstruasi hingga mengurangi risiko pikun.
Untuk itu, ia juga mendorong agar lebih banyak kajian dan penelitian soal jamu, yang nantinya jamu dapat menjadi obat pelengkap di industri pengobatan di Indonesia.
“Kerjasama yang harus ditingkatkan, mencari rahasia sedemikian rupa agar oleh kedokteran diterima. Di negara tetangga kerjasamanya sangat baik,” kata Mangestuti.
Meski begitu, Mangestuti menekankan, karena jamu merupakan minuman herbal, maka khasiatnya tidak bisa langsung dirasakan langsung, tetapi harus dikonsumsi secara teratur.
“Sampai sebegitunya (manfaat jamu) dan dukungan ilmiahnya sangat kuat. Seperti penghilang nyeri, kunyit, itu data ilmiahnya kuat. Orang dulu memang nggak ngerti, tapi sekarang terbukti. Hanya saja generasi sekarang sudah banyak yang lupa,” imbuhnya.
Ia menyayangkan budaya meminum jamu yang saat ini mulai pudar. Banyak generasi muda yang enggan meminum jamu karena bau dan rasanya yang tidak enak. Anak muda lebih banyak menyukai minuman yang praktis karena menurut Mangestuti, karena kurangnya pengenalan jamu kepada mereka.
Kurangnya edukasi tentang manfaat jamu terhadap generasi muda menjadi pekerjaan rumah besar. Jika tidak, budaya meminum jamu bisa hilang seiring perkembangan zaman.
Sekarang saja, lanjut Mangestuti, sudah banyak industri-industri jamu yang menghilangkan resep lama karena kurangnya peminat.
“Industri-industri jamu sudah mulai menghilangkan resep-resep lama karena peminatnya nggak ada, seperti galian untuk wanita. Padahal saya saksi resep-resep itu luar biasa asalkan diproduksi pabrik-pabrik berkualitas,” ungkapnya.
Diperlukan inovasi dan pendekatan khusus agar jamu lebih mudah diterima oleh kaum muda. Ia juga mengapresiasi usaha beberapa orang yang ingin mengangkat kembali jamu dengan penyesuaian selera anak muda.
Namun, Mangestuti menekankan, inovasi jamu baik asalkan inovasi tersebut tidak meninggalkan komposisi atau resep aslinya. Karena hal itu bisa berpengaruh terhadap manfaat yang ditimbulkan.
“Saya lebih mengusulkan inovasi yang berkaitan dengan usaha membujuk konsumen seperti ditambah madu agar tidak terlalu pahit. Atau usaha mengenalkan manfaatnya agar mereka lebih menggemari jamu,” ujarnya.(tin/rst)