“Tutur Mata” buku foto karya lima fotografer muda disabilitas memantik diskusi tentang cara menggali potensi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Buku foto itu memuat karya Omay (penyandang down syndrome), Pina, Kiking, Mukidi, dan Jacky (bisu tuli) yang tergabung dalam Disabilitas Berkarya.
Diskusi seru berlangsung dalam kegiatan bedah buku “Tutur Mata” yang berlangsung di Suara Surabaya Center, Minggu (19/12/2021).
Ada sejumlah narasumber yang membimbing jalannya bedah buku “Tutur Mata” ini. Bukan hanya fotografer, salah satu dari mereka juga penulis.
Para narasumber itu antara lain Bahana Patria Jurnalis Foto Harian Kompas, juga Vika Wisnu penulis sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Untag.
Selain itu ada Mamuk Ismuntoro Fotografer inisiator buku foto “Tutur Mata” bersama Leo Budiman yang membina para fotografer muda disabilitas itu.
Salah satu hal yang mencuat dalam diskusi itu adalah perlunya kurikulum pembelajaran fotografi bagi para penyandang disabilitas di Indonesia, khususnya di Surabaya.
Vika Whisnu penulis sekaligus dosen ilmu komunikasi yang menyatakan, dalam fotografi yang terpenting sebenarnya bukan mata, melainkan jari.
“Mata koordinasi dengan jari tidak perlu satu dua kali ketemu. Inilah kenapa kurikulum fotografi untuk berbagai jenjang kemampuan itu penting disusun,” ujarnya.
Respons muncul dari Ina Silas salah satu akademisi sekaligus pemerhati disabilitas di Surabaya yang turut hadir dalam bedah buku itu.
Dia menyebutkan, kenapa di Indonesia masih dipakai istilah disabilitas? Karena menurutnya, mereka bukannya tidak mampu melakukan secara normal.
“Saya percaya setiap orang punya kemampuan masing-masing yang bisa digali. Karena itu di luar negeri sudah digunakan istilah “difable”,” ujarnya.
Istilah difable adalah akronim dari Different Ability atau kemampuan berbeda. Istilah itu menurutnya tepat, karena ABK ini sebenarnya punya kemampuan berbeda.
“Karena mereka bukan tidak punya kemampuan, tapi mereka punya kemampuan berbeda yang harus digali dengan kesabaran,” ujarnya.
Vika menyatakan, istilah disabilitas masih dipertahankan karena Undang-Undang yang melindungi para difable ini masih memakai istilah disabilitas.
Vika pun menilai, penyesuaian istilah ini belum diperlukan di Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini justru pemahaman yang sama bagaimana menggali potensi mereka.
“Perlu diskusi lebih banyak supaya disabilitas berubah menjadi difabilitas dan dianggap punya kemampuan berbeda bukan berkebutuhan khusus,” ujarnya.
Bahana Patria Jurnalis Foto Harian Kompas berpendapat sama. Pemahaman yang sama itu justru harus dimulai dari sekarang, di dalam forum itu.
Semua harus mulai dari diri kita sendiri untuk memahami bahwa mereka, para penyandang kemampuan berbeda ini tidak perlu dikasihani, cuma perlu didukung.
“Kalau frekuensinya sama, kita keluar ruangan ini sudah akan memberikan ruang yang lebih bersahabat untuk mereka,” ujarnya.
Berkaitan dengan kurikulum. Bahana memberikan gambaran tentang pembelajaran yang bisa diterapkan terhadap anak-anak spesial itu.
“Saya sendiri pernah menjadi guru di bidang seni. Sebenarnya tidak ada pembelajaran yang benar-benar tepat. Tapi tinggal kita cari yang paling gampang,” katanya.
Menurutnya, pembelajaran itu bisa dilakukan dengan memberikan dasar-dasar yang diperlukan oleh para anak-anak spesial itu.
“Hanya saja, dengan cara ini mereka jadi tidak berkembang. Kedua bisa dengan memberikan mereka sepuasnya apa pun yang mereka butuhkan. Dengan cara ini hasilnya akan berbeda,” ujarnya.
Menurutnya, membebaskan anak-anak mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk berkembang dalam menjalankan apa yang mereka inginkan akan lebih berarti.
“Bagaimana anak-anak itu bisa menikmati proses itu, mereka memang ingin menjalani proses itu. Dengan begitu, hasilnya saya yakin akan berbeda,” ujarnya.(den/dfn)