Jumat, 22 November 2024

Banjir Bukan Salah Hujan

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Salah satu warga berusaha mengungsi, karena banjir di wilayah Kecamatan Bandarkedungmulyo, Jombang, Jumat (5/2/2021). Foto: Istimewa

Imroatus Sholihah (49) bergegas mengemas perabot rumah, dia bawa ke loteng. Sepeda motor dia naikkan ke kursi panjang. Tapi sepeda motor lain warisan suaminya justru terendam separuh mesin. Tak sempat lagi.

Suara dari toa masjid terus meraung. Sang takmir mengumumkan peringatan darurat. Semua warga dia minta menjaga keluarga masing-masing. Menyelamatkan diri dan dokumen penting.

“Tanggul Afvoer Brawijaya jebol! Ayo warga Manisrenggo segera cari tempat tinggi! Selamatkan dokumen, KK, dan surat-surat!” Seru Takmir Masjid Manisrenggo, Kamis (4/2/2021) malam, kala itu.

Satu jam berlalu. Banjir air bah akibat jebolnya tanggul Afvoer Brawijaya merendam tiga desa di Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang. Di dekat tanggul ketinggian mencapai satu meter lebih.

Arus air bah cukup kencang. Imroatus memilih bermalam di loteng. Sebagian warga mengungsi di lantai dua masjid desa. Sebagian lainnya turut mengungsi ke balai desa yang disiapkan pemerintah.

Besoknya, dua titik tanggul Afvoer Besuk juga jebol. Berurutan, Kali Kunto sebagai penyangga utama air lahar Gunung Kelud Kediri kritis. Akhirnya jebol juga. Air membanjiri pemukiman di desa lain. Meluas.

Jalan arteri Surabaya-Madiun di ruas Bandar Kedungmulyo ikut tergenang dengan aliran yang cukup deras. Lumpuh. Kendaraan dialihkan ke tol dan jalan tembus ke arah Kediri.

Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi segera bergerak. Tapi air bah itu tak mudah ditaklukkan. Karena masalahnya di hulu. Dam Rolak 70 (Rolak Gude) yang berfungsi membagi air tidak optimal.

Sumrambah Wakil Bupati Jombang bilang, hasil koordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas, pengendalian aliran dari Rolak 70 mulai dilakukan. Dia targetkan penanganan banjir tuntas dalam empat hari.

Meleset. Banjir tak bisa segera surut dalam empat hari. Di sebagian titik, banjir justru merendam selama sebulan.

Belum selesai banjir di Jombang. Air bah juga mengamuk di Kabupaten Nganjuk. Tiga kecamatan di Kota Angin itu terendam air bah dari Kali Kuncir. Air dari pegunungan turun merendam pemukiman di tengah kota.

Fakta banjir air bah berikutnya menyapa kabupaten lain seperti Pasuruan, Probolinggo, Sampang, dan Magetan. Penyebabnya mirip. Masyarakat dan Pemerintah menyebutnya banjir kiriman air dari pegunungan.

Banjir Bukan Salah Hujan

Muhammad Rizal Kepala BBWS Brantas menegakan, banjir tahun ini bukan karena air dari langit turun ke bumi dalam kapasitas berlebih. Tidak. Intensitas hujan tahun ini sama dengan tahun-tahun kemarin atau 2000 milimeter pertahun.

Dia menjelaskan, dari dulu banjir selalu ada. Masalahnya, kalau dulu terjadi di tempat khusus, misalnya di daerah rawa-rawa, sekarang hampir merata hingga ke pemukiman.

“Sekarang ini hujannya sama. 2.000 milimeter per tahun. Tapi waktu turun hujan itu airnya kan terbagi. Ada yang diserap tanah kemudian ada yang mengalir. Dulu yang terserap tanah 50 persen, sekarang mungkin tidak 50 persen,” ujarnya, Senin (22/3/2021).

Lahan yang menjadi resapan tanah sekarang sudah menjadi permukiman, jalan raya, sehingga resapan itu tertutup. Rizal bilang, kemungkinan yang terserap tanah sekarang hanya 30 persen.

“Jadi 70 persen mengalir di permukaan. Sungainya sendiri mengalami sedimentasi dan segala macamnya. Terus ketika ada peningkatan kuantitas hujan di musimnya, maka terjadi banjir,” ujarnya.

Secara spesifik Rizal menjelaskana, banjir air bah di Bandarkedungmulyo itu disebabkan karena kerusakan bendungan pembagi air dan beberapa sungai afvoer.

Aliran air yang mengalir ke Bandarkedungmulyo itu terkait dengan Kali Konto yang alirannya mulai dari hulu gunung kelud. Erupsi dari gunung Kelud itu juga yang merupakan hulu dari sungai Konto, dan juga sumber air di situ. “Erupsi ini menurunkan kapasitas dari sungai,” katanya.

Faktor lain kata Rizal, rehabilitasi Dam Rolag 70 yang sudah 41 tahun belum diperbaiki lagi. Karena terakhir diperbaiki di tahun 80-an. Istilahnya rehabilitasi.

“Kalo di tahun 80-an berarti sampai sekarang 41 tahun, jadi sudah banyak yang rusak di situ. Satu lagi diperparah dengan masalah pengerukan sungai (tambang pasir) jadi galian C itu. Yang kami lihat dari sisi BWS ini untuk galian C itu pengawasannya yang kalihatannya kurang,” katanya.

Galian C di Rolag 70

Rizal menjelaskan, terkait galian C atau penambangan pasir sebijaknya tidak dilakukan di satu titik di Dam yang berfungsi sebagai pembagi air dari gunung. Terutama menggali di dekat tanggul, menurutnya itu sangat berisiko pada degradasi.

“Jadi kalo menggali itu kan ada wilayahnya, ada caranya, ada lokasinya, jadi tidak boleh menggali terlalu dalam di satu titik. Apa lagi galiannya itu di deket tanggul ya, itu kalo terlalu dalam di satu titik itu akan mengakibatkan degradasi,” katanya.

Degradasi itu lanjut Rizal, mengakibatkan muka airnya menurun. Sehingga yang tadinya air bisa mengalir lewat pintu-pintu air yang telah terbagi, airnya jadi nggak bisa ngalir lewat jalur-jalur yang tertata. karena airnya terlalu rendah ke bawah maka air mengalir ke hilir kemudian tanggul-tanggulnya sudah menurun. Akhirnya air itu bukan lewat pintu yang disediakan untuk mengalir, ada pola retensi menjebol tanggul yang lebih rendah posisinya.

Menurut dia, jebolnya tanggul di rolag 70, afvoer Besuk, dan afvoer Brawijaya karena aliran air tidak terkendali ke hilir. Padahal, aliran ke hilir itu juga ada 4 kolam retensi yang tadinya dimanfaatkan untuk jadi penahan air di daerah hilir itu. Sehingga kalau ada air mengalir bisa ditahan sebagian, tidak semua mengalir ke bawah.

“Nah kemarin itu kolam retensinya tidak berfungsi, 4 kolam itu yang berfungsi hanya 1. Lainnya tertutup, ditutup kita nggak tau kan karena pengawasannya kurang. Jadi memang nanti harus dioptimisasi kolam retensinya itu tadi bisa menampung air. Kemarin itu debit air nggak bisa nahan jadinya mengakibatkan banjir ke daerah pemukiman sampe akhirnya juga ke jalan raya,” katanya.

Merubah Mindset Masyarakat

Rizal mengatakan, mengurai masalah ini tidak cukup dengan menggelontorkan anggaran. Tapi juga dukungan mindset masyarakat. Kesadaran masyarakat ikut merawat lingkungan sungai menjadi faktor penting.

“Jadi masyarakat selama ini mikir kan ‘wah kalo urusan banjir bukan urusan saya. Urusannya itu pemerintah’ kan gitu.

Kita liatnya ini jadi mindset masyarakat yang selama ini semua urusan beres kalo udah dibuang ke sungai mengalir gitu kan. Nah ini yang jadi tugas berat kita sama-sama bagaimana kita mensosialisasikan, merubah mindset masyarakat sehingga mereka juga punya peran pengelolaan sumber daya air, pengelolaan sungai, terus sama-sama menjaga sungainya,” katanya

Emil Elestianto Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur secara filosofis juga senada tentang merubah mindset masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan alam sekitarnya.

“Kita lah yang mendatangi alam ini dengan populasi yang bertambah, kegiatan ekonomi meningkat. Maka kita harus tahu enviromental carrying capasity. Daya dukung lingkungan. Karena itu memang penting sekali bahwa kegiatan kita harus berwawasan lingkungan,” kata Emil.

Emil menegaskan, kesadaran masyarakat sekarang mulai meningkat. Sehingga dibutuhkan konsolidasi kedasaran itu dalam sebuah gerakan. “Nah, bagaimana peran pemerintah, saya bilang ada tiga: Anggaran, peraturan, kehadiran.

Peraturan ini ya tata ruang, tidak boleh di bantaran sungai. Kami juga bersinergi dengan BBWS misalnya. Dulu di Mojokerto ada yang enggak mau pindah Satpol-PP koordinasi juga,” kata Wakil Gubernur Jatim.

Menurut Emil, anggaran itu tentunya ada kombinasi. Terkadang mendapat dana dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Kadang-juga mengelola dari APBD murni. “Kami punya dinas PU SDA. Wilayah sungai yang dikelola diantaranya adalah Rejoso, Madura, dan Jember. Di sana mereka terus mengelola dalam melakukan penanganan-penanganan kaitan dengan wilayah sungai,” katanya. (bid/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs